POLITIK di Indonesia bergengsi bila menggunakan bahasa-bahasa asing. Beberapa hari yang lalu, Prabowo Subianto melakukan “reshuffle” dalam Kabinet Merah Putih. Nama-nama baru muncul menggantikan yang lama. Ada alasan-alasan yang tidak semuanya disampaikan kepada rakyat mengenai keputusan Prabowo Subianto.
Pada hari yang berbeda, kita mengetahui jawaban tokoh penting di kepolisian. Ia dituntut mundur tapi menjawab bahwa segala keputusan ada di tangan Prabowo Subianto, yang memiliki hak “prerogatif”. Kita masih mencatat sekian istilah asing yang diucapkan para menteri dan anggota DPR RI. Semakin banyak penggunaan istilah asing dipastikan politik di Indonesi terbukti memiliki gengsi internasional.
Kita pun mengetahui beberapa mantan menteri memiliki kebiasaan menyelipkan istilah asing saat bicara di hadapan wartawan atau membuat pernyataan di depan kamera. Mereka memang terdidik dalam beragam bahasa asing. Akibatnya, terbawa dalam pekerjaan yang ingin memajukan Indonesia dan membahagiakan rakyat. Kita harus ingat istilah-istilah asing bertujuan membahagiakan rakyat, bukan menghina atau membodohkan.
Maka, kita mengagumi mereka yang fasih dan rajin menggunakan istilah asing. Mereka pasti memiliki banyak kamus agar ucapan yang disampaikan terjamin mutunya. Padahal beberapa istilah asing sudah mendapatkan terjemahan atau padanan dalam bahasa Indonesia. Namun, gengsi tetap tampak jika menggunakan istilah asing.
Di jagat politik Indonesia, kita biasanya diminta ikut memikirkan nasib rakyat melalui rapat koordinasi yang melibatkan menteri-menteri dan pihak-pihak yang terkait. Pada saat Prabowo Subianto memilih tokoh untuk menjadi menteri koperasi, kita mengetahui gebrakan yang membingungkan mengenai pembentukan ribuan “Koperasi Merah Putih” di seantero Indonesia. Menteri yang sering berpidato dengan tema koperasi itu tidak lagi berada dalam Kabinet Merah Putih.
Kita diminta berpikiran lagi tentang “koordinasi” dan “koperasi”. Yang menggugah pikiran kita adalah puisi yang ditulis Remy Sylado berjudul “Kisah Vowel Rangkap OO”. Puisi yang agak menggelitik: Kamus Umum Bahasa Indonesia/ menyerap dua perkataan asing/ ‘coordination’ dan ‘cooperation’/ menjadi dua pengejaan baku/ ‘koordinasi’ dan ‘koperasi’/ karena alasan tiada/ vowel rangkap ‘oo’/ dalam bahasa Melayu// Kamus Umum Bahasa Indonesia/ memang siap dicem-‘oo’-h.
Apa pentingnya puisi itu bagi kita yang selalu dipusingkan oleh omongan para menteri? Ingat, menteri yang sudah bekerja beberapa bulan biasa memberi ucapan yang membingungkan. Ada menteri yang baru sudah terlalu berani omong tentang rakyat. Ia tidak lupa mengucap istilah asing. Apakah mereka tidak mengoleksi Kamus Umum Bahasa Indonesia atau Kamus Besar Bahasa Indonesia?
Kita yang mengamati politik bakal mengetahui bahwa orang yang melakukan koordinasi disebut koordinator. Sebutan itu terdapat dalam Kabinet Merah Putih: “menko”. Selanjutnya, koperasi masih menjadi tema penting untuk mengetahui kebijakan menteri yang kemarin berdampak kesejahteraan atau keruwetan. Yang dinanti adalah kerja menteri yang baru: melanjutkan atau mengubah.
Politik yang membuat kita klenger sangat sulit diharapkan mencipta pertobatan meski beberapa menteri meminta maaf kepada presiden dan rakyat. Apakah mudah menghindari masalah politik dalam kehidupan sehari-hari yang sering apes dan menanggung seribu kebohongan?
Kita membaca puisi lagi saja. Puisi bukan sebagai pengganti obat. Puisi anggaplah pelipur lara. Yang menulis bernama F Rahardi (1985). Puisi dijuduli “Kamus”. Kita yang membaca punya hak tertawa: (di penjara/ saat mencari-cari/ makna istilah/ narapidana)// kubuka kamus/ pas huruf k// kontol dan kitab/ dipasang dekat kawat/ dekat kubur/ dekat kondom/ dekat kampret/ dekat kanker/ dan kere-kere/ terkentut-kentut / merindukan/ kesempatan/ korupsi// kubuka lagi/ pas huruf s// salib dan sambal/ diserang sipilis/ disergap/ sultan/ diserempet suster/ disenggol semut/ disengat/ sepeda/ dan setan-setan/ minta suaka ke/ surga// kubuka lagi/ pas huruf t/ halaman kamus itu hangus/ tersundut lisong// tak ada lagi/ tikus/ tak ada lagi/ tulang/ tak ada tangan/ tak ada/ tinja/ tak ada/ tai/ tak/ ada/ tuhan. Puisi yang tidak terkenal tapi kita membutuhkannya untuk hiburan di Indonesia yang dilanda heboh bersumber DPR RI dan Kabinet Merah Putih.
Puisi itu lucu tapi “mencemaskan” untuk yang terus berpikir politik, hukum, agama, dan lain-lain. F Rahardi “sengaja” kurang ajar dalam mengisahkan pengalaman membuka halaman-halaman kamus. Yang dibuka adalah kamus cetak, bukan kamus daring. Puisi membuat F Rahardi luwes memasalahkan banyak hal. Kita cukup tertawa, jangan terjebak dengan belajar serius mengenai kamus dan Indonesia.
Kita yang masih ingin mendapatkan lucu sekaligus getir boleh melanjutkan membaca puisi berjudul “Dua Daya” yang digubah Remy Sylado. Larik-larik yang niscaya terjadi di Indonesia: motivator/ berbicara tentang/ memberdayakan rakyat// koruptor/ berbicara tentang/ memperdayakan rakyat. Yang terlambat menemukan maksud puisi lekas membuka kamus. Carilah entri daya! Selanjutnya, membedakan antara “memberdayakan” dan “memperdayakan”. Yakinlah puisi itu ditulis dengan pamrih humor sekaligus mengingatkan kamus dan Indonesia.
Kabut merupakan nama pena dari seorang pengarsip, esais, dan kritikus sastra Indonesia

Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.