SUATU sore yang lembab, seorang petani Halmahera bercerita dengan mata sembab: kebun kecil yang baru ia buka, ditutup paksa. Tanamannya dicabut polisi hutan bersama aparat kehutanan. Ia sadar, ia salah melangkah, berkebun di kawasan yang oleh negara dicap terlarang. Ia terima itu, dengan pasrah yang getir.
Tetapi setiap hari, matanya juga menyaksikan hal yang lebih ganjil: pesisir yang hancur, pulau-pulau kecil yang semula berstatus lindung, begitu mudah diubah dengan selembar izin tambang. Hukum, rupanya, lebih mudah jatuh pada tangan rakyat kecil, sementara modal, bebas menulis ulang peta.
Kita tahu, pada 2020, pemerintah merevisi Undang-Undang Minerba. Sejak itu, izin-izin tambang tak lagi dikeluarkan pemerintah daerah, melainkan ditarik ke pusat. Alasannya: kepastian investasi, efektivitas birokrasi, harmonisasi hukum. Tetapi yang tampak di lapangan justru ironi.
Otonomi daerah yang dahulu dijanjikan sebagai jalan kedaulatan rakyat, kini digembosi. Pemerintah provinsi, apalagi kabupaten, tak lagi berdaulat atas ruangnya. Dari Jakarta, izin-izin itu meluncur bak titah kolonial.
Di titik inilah pandangan Henri Lefebvre menjadi terang. Ia menyebutnya sebagai produksi ruang yang timpang: negara dengan kuasa legalnya memagari rakyat, sekaligus membuka jalan lebar bagi modal. Atau dalam ungkapan David Harvey, inilah primitive accumulation yang diperbarui, perampasan ruang hidup yang dilegalkan atas nama pembangunan, atas nama investasi.
Apa yang bagi petani tampak sebagai ironi sehari-hari—ia dilarang menanam pala, sementara gunung di sepanjang hutan digusur rata—sesungguhnya adalah wajah dari kolonialisme ekologis. Sebuah rezim yang tak lagi datang dengan bedil, tetapi dengan izin tambang dan peraturan negara.
Teranglah. Kolonialisme ekologis di Halmahera bekerja dengan wajah yang lebih halus, tapi tak kalah kejam dari kolonialisme lama. Dulu, rempah-rempah kita diangkut dengan kapal dagang; kini, nikel diangkut dengan tongkang dan kapal curah. Bedanya, kali ini negara sendiri yang menjadi pintu masuk.
Atas nama transisi energi global, gunung-gunung di Halmahera dipreteli, sungai-sungai dialiri lumpur merah, dan laut dipenuhi tumpahan sedimen. Rakyat hanya menjadi penonton, atau buruh upahan yang gajinya tak sebanding dengan harga yang dibayar tanah dan air.
Ironi terbesar dari kolonialisme ekologis adalah bagaimana ia membungkus diri dalam bahasa kemajuan. Pembangunan, investasi, energi hijau—semua terdengar indah, sampai kita melihat wajah nyata di lapangan: kampung-kampung yang terputus dari ikatan batin dengan ruang masa lalunya, dari sejarah ruangnya sendiri.
Lihatlah pencemaran pesisir Moronopo di Halmahera Timur, ikan-ikan dengan kualitas terbaik menjauh, hutan tak lagi menyimpan damar atau pala. Apa yang disebut hijau di pasar global, justru merah di tanah Halmahera—merah lumpur tambang, merah luka ekologi.
Dan inilah yang membuat Halmahera, seperti juga banyak pulau lain di timur Indonesia, menjadi semacam laboratorium kolonialisme baru. Ruangnya di petak-petak dari meja di Jakarta, izinnya dibagikan ke perusahaan transnasional, rakyatnya diminta bersabar sambil menunggu janji kesejahteraan yang tak kunjung datang. Sementara itu, tubuh pulau itu sendiri—gunung, sungai, hutan, laut—terus dicabik, dengan peningkatan kapasitas produksi, sedikit demi sedikit, hingga nyaris tak bersisa.
Peta konsesi itu, akhirnya, bukan hanya gambar di atas kertas. Ia adalah wajah kekuasaan yang mengatur siapa boleh hidup dari ruang, dan siapa harus disingkirkan. Ia adalah bukti bahwa ruang tak pernah netral: ia bisa menjadi rumah, atau bisa pula menjadi koloni. Dan Halmahera, hari ini, sedang dipaksa untuk menjadi keduanya sekaligus—rumah yang terus kehilangan dindingnya, koloni yang terus menyusutkan harapan mereka yang tinggal di dalamnya. Di antara dua wajah itu, suara rakyat semakin lirih: setenang sungai yang mengalir, sebelum diwarnai lumpur merah.
Koloni ruang, pada akhirnya, tak hanya soal tambang atau izin. Tetapi cara kuasa mengatur hidup: siapa yang boleh menanam, siapa yang harus menyingkir. Dan di celah itu, kita melihat ruang seolah berubah menjadi takdir.[]
Said Marsaoly adalah Pegiat Salawaku Institute, bermukim di Teluk Buli, Halmahera Timur.

Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.