BARU-baru ini, Muhaimin Iskandar alias Cak Imin, Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat dengan enteng mengucapkan makan bergizi gratis (MBG) tak akan disetop meski anak-anak keracunan massal. Dadang Hindayana, Kepala Badan Gizi Nasional juga setuju program ini dilanjutkan. Seolah-oleh nyawa anak-anak di sekolah hanyalah bahan eksperimen kebijakan.

Di Indonesia, seragam bukan lagi sekadar baju yang dipakai setiap pagi. Ia telah menjelma menjadi cara pikir negara: bagaimana anak-anak harus makan, harus duduk, bahkan harus bermimpi. Program MBG, yang terdengar manis di atas kertas, perlahan membuka wajah lain: negara ingin mengatur hingga ke dalam isi piring anak-anak.

MBG berubah jadi ironi: alih-alih menyehatkan, ratusan anak justru sakit. Dari pusat hingga daerah, program ini tampak lebih sebagai panggung politik ketimbang solusi gizi. Sulit menyebutnya sekedar kelalaian; lebih tepat ia dipandang sebagai kejahatan yang dibungkus rapi oleh janji kekuasaan.

Baca Juga:Fiat ke Fitrah

Bukan ironis? Di satu sisi, pemerintah mengumbar jargon keberagaman dan kreativitas. Tapi di lapangan sekolah-sekolah kita dipaksa masuk dalam barisan seragamisasi: dari warna baju, pola kurikulum, hingga menu makan siang. Semua serba ditentukan dari atas, tanpa ruang yang cukup bagi sekolah, guru atau orang tua untuk menyesuaikan dengan konteks lokal.

Apakah setiap anak di Papua, Aceh atau pedalaman Halmahera harus dicekoki menu yang sama hanya demi ambisi politik pusat? Apakah kebutuhan gizi lokal, budaya makan, dan kearifan tradisi dianggap tidak penting dibanding “standar nasional” yang seragam?

Di balik wajah manis MBG, kita melihat pola lama: kekuasaan yang alergi pada perbedaan, yang sibuk menertibkan variasi menjadi satu barisan lurus. Negara kita tampak lebih nyaman menciptakan robot-robot kecil, ketimbang menumbuhkan manusia merdeka yang bisa memilih jalannya sendiri.

Jika keadaan ini terus dibiarkan, maka sekolah akan benar-benar jadi pabrik: seragamnya sama, pikirannya sama, makanannya sama. Yang hilang bukan sekadar selera makan, tetapi juga daya kritis dan imajinasi anak-anak. Dan itu jauh lebih berbahaya daripada sekadar perut yang kenyang.

“Racun” Massal, dan Potensi Korupsi

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Nasional (JPPI), Ubaid Martaji, menilai program Makan Bergizi Gratis yang digagas Presiden Prabowo, tidak hanya menghadapi kendala teknis, tetapi juga berdampak serius bagi keselamatan guru maupun siswa.

Per 22 September  2025, JPPI mencatat lonjakan kasus MBG di berbagai daerah. Jawa Barat menempati urutan teratas dengan 2.012 kasus, disusul DI Yogyakarta 1.074 kasus, Jawa Tengah 722 kasus, Bengkulu 539 kasus, dan Sulawesi Tengah 446 kasus. Angka ini menunjukkan pola yang sama: program yang digadang-gadang sebagai solusi gizi justru berisiko terhadap kesehatan karena lemahnya pengawasan terhadap dapur penyedia konsumsi.

Kondisi serupa juga tampaknya terjadi di Maluku Utara. Dua bulan pasca insiden dugaan keracunan MBG yang menimpa belasan siswa di Kota Ternate pada Juli lalu, hasilnya uji darah korban bahkan belum juga diumumkan ke publik.

Aliansi Ekonom Indonesia meminta agar pemerintah menghentikan sementara program Makanan Bergizi Gratis. Dalam pertemuan dengan Airlangga tersebut AIE mengkritik alokasi anggaran jumbo untuk MBG yang dinilai tidak efektif.

Baca Juga:Pemerintah!

JPPI mencatat tujuh persoalan serius dalam pelaksanaan program MBG: beban tambahan guru tanpa insentif, potensi konflik kepentingan di dapur MBG, kegagalan Badan Gizi Nasional (BGN) menjamin transparansi, pengawasan tanpa keterlibatan masyarakat sipil, ancaman keselamatan anak akibat kasus keracunan, standar gizi yang bermasalah, serta lemahnya koordinasi antara dinas pendidikan dan Kesehatan.

Selain itu, sejumlah Ekonom menyoroti adanya indikasi misalokasi anggaran dalam program MBG dan mendesak pemerintah melakukan evaluasi terhadap penggunaan dana, terutama setelah muncul kasus keracunan masal yang terkait dengan program tersebut.

AIE juga menilai anggaran raksasa untuk MBG justru mubazir dan tidak tepat guna. Bagaimana mungkin Rp 71 triliun tahun ini, lalu melonjak menjadi Rp 335 triliun tahun depan, digelontorkan untuk program yang efektivitasnya masih dipertanyakan. Tentu potensi korupsi sangat terbuka lebar.

Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Teku Riefky, menyoroti ironi kasus keracunan dalam program MBG: program yang seharusnya menyehatkan anak justru membuat mereka sakit, sementara biaya pengobatan ditanggung keluarga sendiri. Dengan anggaran MBG yang dinilai boros dan tidak efisien, beban justru jatuh kepada keluarga miskin yang seharusnya dilindungi.

Bulan Shokuiku Yang Berarti “Pendidikan Makanan”

Kita harus meniru Jepang dengan serius, bukan sekedar membuat program sebagai proyek politik. Bagi mereka makanan sekolah bukan sekedar hidangan tetapi “buku teks hidup”, yang membekali anak membuat keputusan sehat terkait gizi dan pola makan berkelanjutan.

Pada tahun 2005, pemerintah nasional mengesahkan Undang-Undang Dasar tentang Sohkuiku. Shokuiku sendiri memiliki arti: “pendidikan makanan dan gizi” adalah konsep yang tertanam kuat dalam program makan siang sekolah nasional.

Program pertama dimulai pada tahun 1989 di sebuah sekolah swasta dalam Kuli Buddha di Kota Tsuruoka, ketika para biksu mengumpulkan makanan sumbangan dari masyarakat dan menyajikan makan siang gratis kepada anak-anak dari keluarga miskin. Hal ini kemudian mendorong program serupa di berbagai kota di Jepang.

Program makan sekolah di Jepang berkembang pesat, setelah perang dunia ke II akibat kekurangan pangan yang parah dan kekurangan malnutrisi anak, yang kemudian mendorong disahkannya Undang-Undang Program Makan Siang Sekolah untuk mewajibkan semua sekolah dasar dan menegah pertama negeri menyediakan makan siang yang aman dan bergizi bagi seluruh siswa: hingga mei 2021 99,7% sekolah dasar negeri dan 98,2% sekolah menegah pertama negeri di Jepang telah menyediakan makanan sekolah.

Dalam kerangka Sohkuiku, program makan sekolah dikelola oleh guru gizi yang menyusun menu makanan, guru juga diwajibkan untuk berinteraksi dengan keluarga siswa, dan berbagi informasi gizi sehat, dengan menu yang disesuaikan pada keragaman pangan musiman.

Sohkuiku sendiri masih berlaku hingga sekarang yang perlu dicatat, proyek ini bukan bukan hanya bertujuan menyediakan makanan bergizi, tetapi juga mengintegrasikan pendidikan mengenai alam, makanan, gizi, Kesehatan, dan etika makan ke dalam aktivitas siswa sehari-hari[].

Dealftrit Kaerasa adalah advokat publik Maluku Utara