PADA masa depan, kita “dipaksa” mengakui adanya Hari Kebudayaan Nasional. Beberapa hari yang lalu, 17 Oktober 2025, peringatan dilakukan di pelbagai tempat meski belum meriah. Yang pasti, berbarengan dengan hari ulang tahun Prabowo Subianto. Maka, pihak-pihak yang membuat acara wajib bisa membedakan kepentingan: kebudayaan dan kekuasaan.
Anak dan cucu kita kelak bakal mengetahui bahwa adanya Hari Kebudayaan gara-gara kebijakan Fadli Zon yang berpredikat Menteri Kebudayaan. Apakah anak dan cucu menyadari bahwa penetapan hari itu menimbulkan polemik? Kita tunggu saja di masa depan. Anak dan cucu mudah mendapat informasi bila ingin menanggapi Hari Kebudayaan Nasional atau berusaha melakukan protes.
Kini, kita tidak sedang mengenang Fadli Zon yang harus bekerja selama lima tahun dalam rezim Prabowo-Gibran. Ia berusaha menunjukkan capaian-capaian selama setahun, berlanjut membuat kejutan-kejutan yang sering membingungkan dan menggemaskan.
Kita memilih mengenang tokoh yang memiliki perhatian besar terhadap kebudayaan. Tokoh itu bernama Fuad Hassan. Pada masa Orde Baru, ia menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Ketekunannya dalam kebudayaan terdokumentasi dalam tulisan-tulisan. Yang pasti ia sudah rajin menulis sebelum menjadi menteri. Rampung bekerja dalam kabinet Soeharto, ia tetap menghasilkan tulisan-tulisan bertema kebudayaan. Ingatlah bahwa ia bukan menteri yang memiliki pemikiran mengadakan Hari Kebudayaan Nasional. Namun, kita mudah mengenangnya dalam ranah kebudayaan.
Buku terpenting yang kita baca untuk melacak peran Fuad Hassan adalah Renungan Budaya (1988). Buku diterbitkan oleh Balai Pustaka, yang dinyatakan sebagai buku “tidak diperdagangkan” berarti tersebar di ribuan perpustakaan di seantero Indonesia. Buku yang diharapkan dibaca para murid, guru, mahasiswa, dosen, pengarang, dan lain-lain.
“Buku kumpulan karangan dan pidato sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Fuad Hassan), yang mengandung buah pikiran mendasar tentang perkembangan kebudayaan dewasa ini di tanah air kita,” penjelasan dari penerbit. Artinya, buku itu memang dapat menjadi rujukan bagi yang ingin membuat “peta” atau “arus” pemikiran Fuad Hassan. Tulisan-tulisan menjadi jejak dan pembuktian. Fuad Hassan merasa belum memadai bila sekadar tulisan untuk terbaca.
Ia mengungkapkan: “Semoga khalayak buku ini dapat menemukan percikan gagasan yang merangsang pengembangan pemikiran selanjutnya atau kritik yang mendorong perlunya elaborasi pada bagian-bagian yang masih menganga sebagai kekurangan dalam tulisan ini.” Ia enggan mengakui bahwa tulisan-tulisannya “selesai” dan “unggul”.
Ribut mengenai gagasan kebudayaan nasional pernah dipicu oleh Ki Hadjar Dewantara. Pada masa 1950-an, banyak orang terlibat dalam debat dan “bertengkar” gagasan sampai puluhan tahun meski tidak ada ujungnya. Debat itu diwariskan sampai masa Orde Baru tapi rezim Soeharto mengadakan beragam kebijakan yang “memaksa” adanya definisi agar diterima rakyat, yang diajarkan di sekolah dan universitas atau dibesarkan melalui seminar-seminar dan festival-festival.
Kita mengingat penjelasan yang dibuat Fuad Hassan, yang merujuk UUD 1945: “Maka dalam pengembangan kebudayaan nasional, kita tidak perlu ingkar terhadap pluralisme kebudayaan tradisional, seraya bersikap terbuka dalam pertemuan antar-budaya yang beraneka ini. Keterbukaan sikap itu juga diminta dalam pertemuan dengan budaya asing…” Kebingungan kita sampai sekarang adalah menentukan yang asing dan pengaruhnya, dari masa ke masa. Pada abad XXI, kita justru menjadi rumit bila terlalu membedakan dan membuat garis batas yang kaku mengenai tradisional, nasional, asing, global, dan lain-lain.
Penjelasan yang diberikan kesannya “resmi” dan menyesuaikan kepentingan birokrasi. Kita mundur untuk mengetahui yang dipikirkan dan ditulis oleh Fuad Hassan. Kita membaca buku yang berjudul Heteronomia (1977) terbitan Pustaka Jaya. Buku lawas yang menyatakan bahwa Fuad Hassan itu penulis ampuh, sebelum menjadi menteri.
Yang disampaikan Fuad Hassan berlatar masa 1970-an: “Masalah-masalah sosial dan budaya dewasa ini tidak bisa dipandang terlepas dari dinamika kemanusiaan umumnya. Segala perubahan yang melihat kehidupan manusia secara universal, akhirnya akan terasa pula sebagai gelombang-gelombang yang berpengaruh terhadap sosio-dinamika dalam masyarakat kita.”
Kita membacanya seperti ada warisan dari polemik kebudayaan yang meriah pada masa 1930-an. Urusan kebudayaan selalu gampang diributkan dan menghasilkan definisi berulang tapi mengalami ralat sesuai gejolak zaman.
Fuad Hassan tidak cuma fasih memikirkan atau merenungkan kebudayaan. Di belasan tulisan, ia tampak serius dalam mengamati perkembangan sastra di Indonesia. Perhatian itu timbul dipengaruhi oleh pergaulannya dengan para pengarang dan intelektual. Fuad Hassan ketagihan membaca sastra, yang disempurnakan perannya sebagai penerjemah. Dulu, ia menerjemahkan cerita dari Hungaria, yang beberapa hari lalu kita mengetahui peraih Nobel Sastra (2025) adalah pengarang asal Hungaria.
Pada 1967, Fuad Hassan memberi kritik setelah mengamati perkembangan sastra melalui terbitan majalah Horison, menggunakan perbandingan situasi sastra masa 1950-an dan 1960-an: “Pengarang-pengarang mutakhir kita memang menunjukkan beberapa keseragaman dalam karya-karyanya. Mereka mau ringkas saja. Yang ringkas ini ada yang berarti sekadar pendek, tetapi ada juga yang boleh diartikan padat. Mereka pada umumnya tidak lagi cenderung untuk bertele-tele. Mereka tidak terlalu bernafsu untuk mengulur rekaman-rekaman mereka melalui verbalisme hampa. Yang pendek adakalanya menandakan adanya kemalasan menggarap, sedangkan yang padat tidak jarang sangat kaya.” Artinya, penilaian itu penting bagi kita yang ingin mengetahui babak awal Horison berpengaruh dalam laju kesusastraan di Indonesia. Pada masa sebelum sibuk menjadi menteri, Fuad Hassan memiliki hari-hari menikmati sastra.
Dulu, ia menikmati sastra tanpa ada kepentingan mengadakan hari-hari peringatan. Kita mengingat Fuad Hassan mumpung Indonesia mulai kebanyakan hari peringatan yang misinya kadang samar. Fuad Hassan tidak mewariskan kepada kita deretan peringatan: Hari Puisi, Hari Pantun, atau Hari Sastra. Fuad Hassan saat menjadi pemikir kebudayaan dan menteri juga tidak punya kehendak (ambisius) mengadakan Hari Kebudayaan Nasional.
Kita akhirnya memilih membaca tulisan-tulisan bertema kebudayaan ketimbang dibingungkan pelbagai hari peringatan, yang bikin polemik dan capek.
Kabut merupakan nama pena dari seorang pengarsip, esai, dan kritikus sastra Indonesia

Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.