Koordinator Front Pemuda Taliabu (FPT), Lifinus Setu, menilai Bupati Sashabila Mus semestinya mengambil cuti melahirkan sebagai bentuk penghormatan terhadap etika publik dan tertib administrasi pemerintahan daerah.
Menurut Lifinus, jabatan kepala daerah merupakan amanah publik yang menuntut kepatuhan terhadap prinsip good governance, bukan pengelolaan yang bergantung pada kondisi pribadi pejabat.
“Kalau kepala daerah sedang melahirkan, seharusnya mengambil cuti sementara. Itu bukan hanya hak pribadi, tapi juga tanggung jawab publik agar roda pemerintahan tetap berjalan efektif,” tegas Lifinus, Jumat, 24 Oktober 2025.
Lifinus menekankan bahwa pemerintahan daerah tidak boleh dijalankan secara personal. Ketika kepala daerah berhalangan sementara, peraturan telah mengatur mekanisme penyerahan tugas kepada wakil kepala daerah atau pejabat pelaksana harian (Plh) guna menjaga keberlanjutan pelayanan publik.
“Etika publik itu bukan soal suka atau tidak suka, tapi soal keteladanan dan disiplin dalam sistem pemerintahan. Kalau kepala daerah berhalangan, sistem harus tetap berjalan, bukan berhenti,” ujarnya.
Ia mengingatkan, pelaksanaan tugas dalam kondisi melahirkan justru berpotensi mengganggu efektivitas administrasi pemerintahan dan menimbulkan kesan bahwa birokrasi dikelola secara personal, bukan institusional.
Terkait dasar hukum, Lifinus menjelaskan bahwa Pasal 76 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur kepala daerah yang berhalangan sementara dapat menyerahkan wewenangnya kepada wakil kepala daerah.
Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS juga menegaskan hak cuti melahirkan bagi pejabat perempuan, yang secara prinsip etika berlaku pula bagi pejabat publik.
Ia menambahkan, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menuntut agar penyelenggara pemerintahan memastikan pelayanan tetap berjalan tanpa gangguan apa pun, termasuk kondisi pribadi pejabat.
“Cuti melahirkan adalah bagian dari sistem administrasi yang sehat. Itu bentuk tanggung jawab, bukan pengabaian tugas,” jelasnya.
Lifinus mencontohkan praktik serupa yang pernah dilakukan Bupati Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Indah Putri Indriani, pada tahun 2021. Saat itu, Indah secara resmi mengambil cuti melahirkan selama beberapa minggu, dan seluruh kewenangannya diserahkan kepada Wakil Bupati Budiman Hakim Basri sebagai Pelaksana Harian (Plh).
“Langkah itu menunjukkan teladan etika birokrasi dan profesionalisme pejabat publik perempuan dalam menjaga keberlangsungan pelayanan pemerintahan,” ujarnya.
Menurut Lifinus, tindakan tersebut justru menuai pujian karena mencerminkan kepatuhan terhadap administrasi dan etika publik.
“Contoh seperti itu menunjukkan bahwa menjalankan mekanisme cuti bukan tanda kelemahan, melainkan bentuk penghormatan terhadap sistem dan publik,” tambahnya.
Ia menegaskan, pengabaian terhadap mekanisme cuti dapat menimbulkan persepsi negatif di masyarakat serta menurunkan kepercayaan publik terhadap profesionalisme pemerintah daerah.
“Setiap pejabat publik, terutama kepala daerah, harus menjadi teladan dalam menaati norma hukum dan etika penyelenggaraan pemerintahan. Urusan pribadi dan jabatan publik harus dipisahkan. Pemerintahan yang baik hanya bisa berjalan jika dijalankan dengan disiplin sistem, bukan bergantung pada figur,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.