SAYA agak gelisah setelah mengikuti diskusi buku Peran Cendekiawan Muslim: Dalam Dakwah, Etika, dan Transformasi Sosial di Era Digital (KBM, Agustus 2025) di Caffé dan Resto Syamatira, Ternate, pada Sabtu sore kemarin, 25 Oktober 2025.
Kegelisahan ini karena dalam diskusi yang menghadirkan dua narasumber, Prof Gufran A. Ibrahim dan Dr. Rauf Wajo itu, sama sekali saya tak mendengar menyinggung peran cendekiawan muslim dalam mengkritik atau melawan kerusakan lingkungan yang belakangan masif di Maluku Utara.
Terlebih ketika saya ingin bertanya peran cendekiawan itu kepada narasumber, tak ada lagi kesempatan karena waktu magrib keburu tiba memaksa mengakhiri diskusi. Tak puas, saya melirik ke salah satu panitia dan memberi isyarat meminta satu buku untuk jadi koleksi. Dengan harapan, dalam buku kumpulan tulisan 117 halaman karya sembilan penulis ini, setidaknya ada yang menyinggung peran cendekiawan muslim dalam membantu masyarakat mempertahankan ruang hidupnya dari perampasan perusahaan tambang di pulau Halmahera.
Karena itu, setelah balik ke rumah, saya langsung membuka buku pemberian panitia itu, lalu membaca perlahan-lahan setiap judul tulisan dalam buku tersebut. Sayangnya, dari delapan tulisan, tak satu pun penulis yang membahas peran cendekiawan muslim dalam menjaga lingkungan. Padahal kalau mau bilang, kita sudah berada pada level darurat kerusakan lingkungan di Maluku Utara.
Saya sebut saja delapan judul tulisan-tulisan itu, yakni, “Peran Cendikia dalam Meningkatkan Kualitas Dakwah di Era Modern”; “Ulama: Penjaga Moralitas Umat dan Peradaban”; “Media Sosial dan Intelligence Flexibility”; “Perempuan Sebagai Cendikia Muslim: Menghadapi Tantangan Kontemporer dalam Pemikiran dan Pendidikan Islam”; “Cendekiawan: Antara Etos dan Penafsiran Realitas Sosial di Tengah Persoalan Kebangsaan”; Peran Cendekiawan Muda di Era Society 5.0”; “Bonus Demografi Indonesia 2045 dan Tanggung Jawab Cendekiawan”; “Cendekia dan Tanggung Jawab Sosial”. Ditambah pengantar dari Kasman Hi Ahmad, Ketua ICMI Maluku Utara, yang juga Wakil Bupati Halmahera Utara, berjudul “Peran Cendekiawan Muslim dalam Dakwah, Etika, dan Transformasi Sosial di Era Digital”.
Bisa diduga karena tak satu pun yang menulis peran cendekiawan melawan kerusakan lingkungan dalam buku itu, narasumber diskusi pun tak menyinggung. Tapi, bukannya dalam diskusi buku tak selalu mengurai apa yang ada dalam buku? Setidaknya yang ada di luar pembahasan itu, menjadi jalan kritik isi buku ataupun masukan untuk edisi revisi. Sayangnya, kritik-kritik semacam ini, tak banyak kita jumpai dalam diskusi atau bedah buku di Maluku Utara.
Dalam kesempatan itu, Prof Gufran memang memberi masukan, tapi soal tata letak, seperti jarak paragraf, dan garis tebal pada sub pembahasan yang menurutnya mengurangi nilai estetik fisik buku. Selebihnya, ia mempertegas konsep cendekiawan dan perannya dalam kehidupan masyarakat.
Menurut mantan rektor Unkhair ini, cendekiawan berperan menjaga akal dan budi. Dia selalu menjadi mercusuar bagi siapa pun dalam masyarakat dan bangsa yang sedang defisit akal budi. Cendekiawan, kata ia, akan menjadi berguna bagi kemanusiaan, bila kemampuannya dapat dikomunikasi dan didialogkan dengan khalayak ramai untuk kemajuan kemanusiaan.

Konsep-konsep cendekiawan tersebut selaras dengan empat peran cendekiawan yang diuraikan oleh Herman Oesman, salah satu penulis dalam buku itu. Pertama, peran memproduksi dan menyebarkan pengetahuan. Dengan ini, kaum cendekiawan menyalakan suluh untuk membangunkan warga agar selalu sadar berbagai kebijakan yang ada. Kedua, melakukan kritik sosial dan politik. Sebagai agen perubahan, cendekiawan kerap berperan dalam memberikan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang tidak adil atau tidak efektif.
Ketiga, peran advokasi dan mobilisasi sosial. Dalam konteks gerakan sosial, cendekiawan acap kali menjadi penghubung antara teori dan praktik melalui kajian akademik yang membuktikan ketimpangan sosial. Keempat, menjaga integritas dan etika dalam ilmu pengetahuan (Hal. 69-70).
Konsep-konsep itu membawa ingatan kita pada sejumlah nama besar yang mengkampanyekan peran cendekiawan atau kaum intelektual, seperti Antonio Gramsci, Edward Said, maupun Ali Syari’ati. Atau cendekiawan muslim di Indonesia seperti Nurkholis Majid (Cak Nur), Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Jalaluddin Rakhmat (Kang Jalal).
Kita sukar menemukan peran agung tersebut hidup dalam diri generasi saat ini, yang lebih cenderung tergoda dengan kekuasaan. Apalagi, dua organisasi kemasyarakatan besar berlabel Islam seperti NU dan Muhammadiyah, yang jadi tempat banyak para cendekiawan muslim bernaung, mulai menuntut mengelola tambang (baca: Tempo). Termasuk kampus, yang lebih sibuk mementingkan mengurus hibah dengan pemerintah dan perusahaan tambang, peran-peran cendekia itu tak mudah dilakoni.
Peran cendekiawan yang terurai dalam konsep itu seperti telah mati dalam kenyataan. Terlebih di Maluku Utara saat ini. Ketika hutan Halmahera nyaris dibabat habis oleh perusahaan tambang–dan ruang hidup bahkan hingga ruang mati (lahan kubur) masyarakat mulai hilang, suara-suara cendekiawan itu justru lenyap. Masyarakat berjuang sendiri mempertahankan tanahnya. Termasuk ketika 11 warga Maba Sangaji di Halmahera Timur dikriminalisasi akibat mempertahankan tanah adat mereka, nyaris tak terdengar suara dari para cendekiawan–yang mengkritisi, apalagi mengadvokasi dan memobilisasi sosial itu. Bahkan, ada sejumlah teman jurnalis yang mengeluh sukar mencari narasumber dari kalangan akademisi untuk memberi komentar kritis perihal kerusakan lingkungan.
Barangkali itu pula mengapa, saat sidang kasus tersebut di Pengadilan Negeri Soasio Tidore, kuasa hukum lebih memilih menghadirkan dua saksi ahli dari akademisi Universitas Indonesia, Geger Riyanto dan Universitas Gadjah Mada, I Gusti Agung Made Wardana, ketimbang dari kampus-kampus di Maluku Utara. Meskipun satunya adalah Aslan Hasan, dosen hukum Unkhair Ternate. Namun, Aslan sendiri, dalam suatu forum diskusi perihal ini, mengaku dosen atau kampus-kampus di Maluku Utara, alih-alih mengkritik, justru sibuk menerima pesanan riset dari perusahaan tambang (baca: Kadera.id).
Karena itulah, saya agak risau saat tak mendengar atau membaca suara kritik cendekia yang sebagian besar akademisi ini, dalam buku perdana karya Majelis Pengurus Wilayah Pemuda ICMI Maluku Utara tersebut. Padahal, masyarakat sesungguhnya membutuhkan peran agung cendekiawan itu, jika tak turun bersama mereka di jalan, setidaknya lewat tulisan-tulisan edukasi dan kritis, sebagai sikap keberpihakan sekaligus membantu mereka melawan oligarki perusahaan tambang.
Tapi sudahlah, buku telah terbit dan kita patut apresiasi. Tentu, sambil berharap buku-buku selanjutnya dapat memberi porsi pada peran bersama masyarakat yang berjuang mempertahankan tanahnya. Dengan begitu, peran cendekiawan tak sekadar berakhir dalam konsep, tapi juga hidup bersama masyarakat untuk kemaslahatan bersama.
Penulis merupakan pegiat literasi sekaligus pengajar media dan jurnalisme di Universitas Bumi Hijrah

Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.