TIGA BOCAH berlarian di atas lahan kosong Kelurahan Mangga Dua, Ternate Selatan, Kota Ternate, sembari menerbangkan layang-layang. Lahan gersang itu kini jadi tempat bermain anak-anak setiap sore, mereka tidak tahu, dulu kawasan tersebut dipenuhi mangrove yang terbentang dari utara hingga selatan Mangga Dua.

“Dari masa tong kecil-kecil, mangrove so memang ada. [Luasnya] kurang lebih sekitar dua hektar,” kenang Ibrahim, warga Mangga Dua saat ditemui Kadera, pada Selasa, 30 September 2025. “Tapi sekarang sudah habis ditimbun.”

Ibrahim masih ingat betul, di tahun 1980-an, ketika ia masih seorang bocah yang duduk di bangku sekolah dasar. Wilayah tersebut, dahulu, memang jadi tempat ia dan teman-temannya bermain di antara pohon soki dan sosi-posi. Di sana, mereka biasa memancing ikan gutila, mencari kerang, hingga menangkap kepiting.

Namun kondisi itu telah berubah jauh sejak tahun 2021, ketika kawasan seluas 1,7 hektar yang disebut Siantan itu mulai ditimbun oleh PT Indo Alam Raya Lestari–sebuah perusahaan konstruksi milik pengusaha Budi Liem. Lahan itu disebut berstatus milik perseorangan dan diklaim telah mengantongi izin dokumen UKL-UPL, tetapi izin itu  diduga telah kadaluarsa karena dibuat pada 2014.

Kawasan Siantan berada tepat di seberang dermaga speedboat rute Ternate-Sofifi. Ia direncanakan dibangun sebuah proyek gudang modern. Proyek ini sempat diprotes oleh warga, tetapi tetap digusur–meski diduga status tanahnya belum jelas. Pada lokasi ini, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Ternate juga diduga pernah menerbitkan sertifikat hak milik atas nama Andi Cakra dengan luas lahan 9.900.33 meter persegi. Ada dugaan operasi mafia tanah di BPN di balik proses pembebasan lahan di Siantan.

Sejak alat-alat berat masuk merobohkan satu per satu mangrove dan menimbun, semuanya lenyap. Suara burung bangau tak pernah lagi terdengar, ikan-ikan makin menjauh, dan kepiting bakau sekadar jadi cerita. 

“[Sekarang] kalau pas air pasang, dia nae sampai di rumah-rumah,” ujar Ibrahim sambil memperlihatkan gambar di ponselnya: air laut menelan jalan setapak dan halaman rumah-rumah warga di RT 14 Mangga Dua.

***

Seorang warga berdiri di tengah timbunan areal Siantan, Kelurahan Mangga Dua, Ternate Selatan yang dulunya dipenuhi pohon mangrove. Foto: Rajuan Jumat/Kadera.id

HAKINA Lahidi, perempuan 65 tahun asal Pulau Makian yang menetap di Mangga Dua sejak 1975, mengatakan kawasan Siantan dulu sumber pangan masyarakat. Ia kerap mencari bia popaco (kerang kecil) dan bia kodok putih di akar mangrove.

Seingat Hakina, pasca kekerasan sektarian medio 1999-2000, masih banyak warga setempat dan pengungsian mengambil kerang di lantai mangrove. 

“Waktu kerusuhan, orang lari ke Ternate kan tanpa bawa apa-apa, jadi kamari sini dong bacari bia. Me tong pe anak-anak sering turun kabawa kong bacari bia popaco deng bia kodok pe alus-alus lagi,” kenang Hakina.

Tetapi sejak ditimbun, tidak hanya mangrove yang hilang, ada banyak biota dan kehidupan yang ikut lenyap, termasuk ikan.

“Dulu mangael dekat-dekat sini saja so hela ikan gutila (Lethrinus olivaceus) banyak. Sekarang dia pe ikan-ikan me tidak tahu di mana jadi tong mangael harus kaluar jauh,” tambah Ibrahim.

“Kalau dulu kepiting bakau banyak. Cuman sekarang mulai hilang karena dia pe tempat so tarada. Burung bangau deng kelelawar juga jaga singgah, tapi sekarang so tara dapa lia setelah mangrove dong dorong pakai alat berat kasih rubuh kiri-kanan. Tinggal sadiki ini kong dong (mereka) tola-tola (gusur) kamari deng habis sudah,” ungkap Ibrahim.

Saat mendatangi areal Siantan yang menjadi titik reklamasi, banyak material bangunan yang sudah menggunung dan berserakan sebagai material dasar timbunan. Sementara pohon dan batang mangrove banyak yang sudah tumbang.

Ibrahim memperkirakan jumlah mangrove Mangga Dua yang tersisa saat ini kurang dari 50 pohon.

Sedikitnya hanya tersisa tiga jenis mangrove di Mangga Dua: Api-api putih (Avicennia marina), posi-posi (Sonneratia alba) dan soki (Rhizophora apiculata), berdiri dari arah laut membentuk barisan layaknya pagar alami yang menjadi pembatas antara Siantan dengan permukiman warga. 

Mangrove yang dulunya lebat kini tinggal dihitung dengan jari–dewasa berkisar dua puluh pohon sementara anakan hanya tersisa belasan.

Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Ternate Tahun 2012-2032, mangrove di Mangga Dua dan Mangga Dua Utara masuk dalam kawasan suaka alam dengan luas kurang lebih 2,90 hektar, tetapi juga diperuntukkan pembangunan gudang modern dan rencana reklamasi.

Tak disangka, hutan mangrove di Mangga Dua yang dikategorikan “kawasan suaka alam” justru jadi “tumbal” proyek reklamasi dan rencana pembangunan gudang modern.

Lewat rekaman citra satelit dan pengamatan saat berada di lokasi reklamasi, keberadaan mangrove Mangga Dua sudah dikikis sejak 2021. Hingga Oktober 2025, jumlah mangrove yang tersisa kurang dari ratusan pohon.

***

 

Mangrove jenis soki yang berhasil tumbuh di tengah permukiman penduduk Kelurahan Mangga Dua, Ternate Selatan, ditanam oleh organisasi kepemudaan di Kota Ternate. Foto: Rajuan Jumat/Kadera.id

DI DEPAN rumah triplek bercat jingga berdiri sekitar lima meter dari pesisir pantai Kelurahan Gambesi, Ternate Selatan, Idrus Fabanyo, sibuk membersihkan pelataran rumah anaknya. Ia memicingkan mata memandangi laut, tepat dua barisan mangrove berdiri rapuh di ujung pantai.

“Ini kalau ditebang, dampaknya tetap air naik ke darat. Karena tarada [tidak ada] penahan ombak. Kalau tebang, habis sudah,” kata Idrus mengawali perbincangan ketika kami duduk di atas fondasi rumah memandangi laut antara mangrove dan Gunung Kie Matubu di Tidore, pada Jumat sore, 13 Oktober 2025.

Idrus masih ingat, dulu kawasan pantai sangat luas, dipenuhi pasir putih, dan burung-burung perkici berseliwerang di atas rimbunan mangrove. Hanya saja, setelah mangrove rusak, satwa dan biota laut ikut hilang. Idrus menduga, salah satu penyebabnya karena pasir pantai dikeruk untuk pembangunan rumah dan mangrove setempat sering ditebang.

Berdasarkan jurnal penelitian S. Nurul K. Sembel dkk (2024) berjudul Relationship between Abundance and Total Organic Material (BOT) Sediments in Mangrove Habitats in Gambesi Village, South Ternate District, Ternate City, hanya ada dua famili mangrove yang teridentifikasi di kawasan ini: Rhizophoraceae (dengan tiga spesies utama) dan Sonneratiaceae (satu spesies). Padahal, hingga awal tahun 2000-an, kawasan itu masih menjadi tempat warga mencari ikan, kepiting, dan udang.

“Saya dulu jaga cari kepiting, ikan goruo, kobos, ikan uhi, bia, dan udang di mangrove itu. [Sekarang] so tarada mangrove kong saya so tara bacari. Kalau dulu hebat [banyak],” ujarnya.

Dalam sebuah Jurnal Bioedukasi (2016), Ilham dkk, menyatakan bahwa penyebab kerusakan ekosistem mangrove karena sering ditebang habis, konversi menjadi lahan pertanian dan pemukiman, pembuangan sampah padat, pencemaran minyak tumpah, reklamasi pantai, serta pembuangan sampah cair.

Tak hanya terjadi di Gambesi, di bagian pesisir Pantai Kelurahan Sasa, juga bernasib serupa. Muthi, warga Kelurahan Sasa, cerita, mangrove tumbuh rimbun di muara kali mati atau barangka, tepat di antara batas RT02 dan RT03 atau di samping gedung Perpustakaan Independensia.

Barangka tersebut dulunya berbentuk kolam yang menjadi tempat favorit Muthi beserta teman-teman bermain dan menangkap udang juga ikan.

Sejak tahun 1980-an hingga awal 2000-an, Muthi masih melihat mangrove tumbuh. Ia tidak tahu pasti mengapa mangrove di kawasan tersebut musnah. Namun, ia menduga, abrasi dan perkembangan kota yang kian pesat jadi salah satu penyebabnya.

“Sekarang perkembangan so (sudah) jauh sekali. Untuk cari udang satu ekor saja lebe bae tong cari emas di toko la dapat, udang so susah. Tapi kalau dulu, udang banyak, depe (dia punya) ikan juga banyak lagi,” ucap Muthi.

Dulu, di tempat itu, anak-anak berenang dan orang dewasa mencari udang dan memancing ikan kecil untuk umpan. Kini, barangka itu mati dua kali: mangrovenya hilang, masa lalu ikut lenyap.

***

Speadboat dan perahu nelayan yang tertambat di sisi timur Siantan, Kelurahan Mangga Dua, Ternate Selatan, dimana hutan mangrove tersisa berada. Warga kuatir, jika areal ini ditimbun, mereka akan kesulitan mencari tempat untuk selamatkan perahu saat musim pancaroba. Foto: Rajuan Jumat/Kadera.id

PERUBAHAN bentang alam pesisir Kota Ternate semakin terasa dampaknya. Setiap kali musim angin datang, gelombang tinggi menerjang pesisir dari Kelurahan Sasa hingga Jambula. Di Mangga Dua, banjir rob sudah menjadi langganan. Air laut merembes ke halaman rumah-rumah hingga sumur warga. Di Gambesi dan Sasa, warga mulai kehilangan sumber pangan tradisional mereka; kerang, ikan, hingga kangkung.

Afifa M. Nur, 61 tahun, masih mengingat ketika pesisir Gambesi bersih dan rimbun di penuhi mangrove. Kalau musim hujan, mereka sering mencari bia dan kepiting. Namun sekarang, tidak ada lagi penahan, ombak datang menghantam rumah hingga tanaman kangkung mati.

“Dulu kalau musim hujan, torang sering cari bia dan kepiting. Sekarang, saat musim ombak, tanaman kangkung juga ikut mati,” kata Afifa. “Talud pemecah ombak tidak selesai-selesai. Pemerintah cuma janji terus.”

Warga telah berkali-kali mengusulkan pembangunan swering atau talud penahan ombak di pesisir Gambesi. Namun, proyek itu berjalan setengah hati.

Tong [kita] usul bikin swering atau talud pemecah ombak, tapi dong [pemerintah] hanya bikin setengah. Di lao [laut] tinggal setengah lagi. Kalau ada air besar [amukkan ombak], apalagi bulan Desember, tong [kita] punya kangkung mati semua,” ucapnya.

Abrasi pantai makin parah, kata Afifa. Setiap tahun bibir pantai bergeser lebih dekat ke rumah-rumah warga.

Nelayan juga ikut merasakan ketika ombak menerjang. Rifaldo Abubakar, nelayan asal Malifut, Halmahera Utara, sudah tujuh tahun melaut di Gambesi. Ia bercerita, saat badai besar melanda pesisir Ternate pada 7 Oktober lalu, dua perahu nelayan di Gambesi terbalik dihantam gelombang.

“Dua perahu tabale [terbalik] di Gambesi. Satu rusak parah. Viber pica ancor-ancor. Hanya mesin yang selamat,” kata Rifaldo, Selasa, 14 Oktober 2025. Ia bersyukur perahunya selamat karena ditambat di balik rumpun mangrove.

***

Satu pohon mangrove yang tumbuh di pesisir Kelurahan Sasa, Ternate Selatan. Mangrove jenis soki ini diperkirakan ditanam oleh mahasiswa. Foto: Rajuan Jumat/Kadera.id

UPAYA penanaman kembali mangrove di pesisir Kota Ternate sudah berulang kali dilakukan. Dari keterangan warga, mahasiswa dan komunitas termasuk pemerintah kota sering melakukan penanaman bibit mangrove di pesisir. Namun, hasilnya sering tak berjalan maksimal.

Musli Mohammad, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Ternate, mengatakan telah melakukan rehabilitasi mangrove dalam sepuluh tahun terakhir. Jumlah mangrove yang ditanam hasil kerja sama dengan pihak lain kurang lebih seribu pohon yang tersebar di beberapa kelurahan seperti di Gambesi, Jambula, Sulamadaha, dan Kastela.

Namun ia mengaku menghadapi tantangan sistemik ketika melakukan rehabilitasi mangrove, sebab adanya rencana pembangunan pesisir, lemahnya koordinasi antar instansi, minimnya sumber daya, dan belum adanya intensif ekonomi bagi masyarakat. 

“Selama kebijakan ruang masih berpihak pada konversi lahan, rehabilitasi mangrove akan selalu bersifat tambal sulam, bukan pemulihan ekosistem,” jelas Musli.

Menurut Musli, pemerintah sudah memiliki Kajian Lingkungan Hidup Strategis RTRW Kota Ternate 2022-2044 yang mencantumkan segala kebijakan, rencana, dan program yang memperhitungkan asas keberlanjutan, terutama terkait dengan langkah strategis dalam menjaga keberlanjutan mangrove.

“Dengan demikian, secara normatif, perlindungan mangrove sudah terintegrasi dalam tiga dokumen perencanaan utama (RTRW, RPJMD, RZWP3K). Namun secara praktis, integrasi tersebut masih bersifat administratif dan belum operasional,” terang Musli.

Dari data KLHS Kota Ternate, luasan mangrove tercatat 39,18 hektare. Namun jumlah itu hanya terhitung di Pulau Moti, bukan di Pulau Ternate. Sementara, berdasarkan hasil survei Data Base Ekosistem Pesisir Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate (2020) menunjukkan bahwa luas ekosistem mangrove di wilayah Kota Ternate, khususnya di Pulau Ternate, Moti, dan Hiri yaitu 128,6 hektar. Pulau Ternate sebesar 3,75 hektar, Moti 123,47 hektare, dan Hiri 1,38 hektar. 

Survei itu menyebutkan bahwa Kelurahan Rua masuk dalam kondisi “kerusakan ringan”, Kelurahan Gambesi kategori kerusakan sedang, dan kerusakan berat di Kelurahan Mangga Dua. Sementara di Moti masuk kerusakan “sangat ringan” dan “ringan”.

Kajian yang disusun Universitas Khairun bekerjasama dengan Bappelitbangda Kota Ternate (2023) itu juga menyatakan bahwa vegetasi hutan mangrove di Pulau Ternate merupakan vegetasi yang tumbuh secara alami dan hasil penanaman kembali, dengan luas keseluruhan sebesar 3,75 hektar. Penyebarannya hampir sepenuhnya merata dengan enam spesies yaitu Sonneratia alba, Ryzophora mucronata, Ryzophora apiculata, Ryzophora stilosa, Bruguera parfiflora, dan Avicenia alba.

Menurut Salnuddin, dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Khairun (Unkhair), tidak semua pesisir Pulau Ternate cocok menjadi habitat mangrove. Sebab tergantung pada sedimen substrat atau permukaan dasar suatu habitat, bila permukaan dasar tersebut tipis, maka tidak bisa menopang akar mangrove.

“Paling tidak, sedimen substratnya harus tebal, biar akar mangrove bisa masuk ke bawah. Sementara di sini [pantai Gambesi dan Sasa], sedimennya terbilang tipis,” kata Salnuddin.

***

Mangrove jenis posi-posi yang tersisa di pesisir Kelurahan Sasa, Ternate Selatan. Foto: Rajuan Jumat/Kadera.id

BERDASARKAN Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Pulau Ternate–dengan luas daratan hanya 98,67 kilometer persegi, tergolong pulau kecil yang semestinya di konservasi. Tetapi arah kebijakan pemerintah justru berjalan sebaliknya, menimbun laut demi proyek komersial.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Ternate 2025-2029, pemerintah kota mencantumkan rencana “pengembangan kawasan strategis ekonomi baru” di pesisir selatan. Caranya cukup tragis: reklamasi besar-besaran dari Kelurahan Fitu hingga Jambula.

Junaidi Sergi, Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kota Ternate tak menampik adanya rencana tersebut. Namun ia mengatakan mangrove yang eksisting akan tetap dipertahankan, tetapi bila ada yang ditimbun akan diganti di sebelah sisi lainnya. 

“Kalaupun ditimbun akan diganti di sebelah di sisi lainnya. Ditebang habis demi reklamasi, baru ditanam kembali. Memang aturannya seperti itu,” kata Juanidi, “kalau kita mereklamasi satu kawasan yang ada mangrovenya harus ditanam kembali.”

Pernyataan itu, bagi Salnuddin, dosen Unkhair, menunjukkan logika pembangunan yang cacat. Menebang di satu sisi lalu menanam di sisi lain tidak sama dengan pemulihan. Mangrove tidak bisa diganti begitu saja, kata Salnuddin.

“Reklamasi tentu saja berpengaruh karena terjadi penyempitan, perubahan volume air, dan energi gelombang akan berpindah mencari tempat lain, membongkar pesisir atau wilayah lain yang lebih lembah,” tambah Salnuddin. Ketika wilayah pecah ombak berpindah ke tempat yang lebih lemah, di situ akan meningkatkan aktivitas abrasi yang semakin cepat.

Dampak reklamasi sudah terbukti berulang kali. Dalam penelitian Anugrah, Karmilah & Rahman dalam Potret Krisis Sosio-Ekologi Kawasan Pesisir Dampak Reklamasi (2022) misalnya mencatat reklamasi di Pantai Gamalama sejak 2001 mengubah pola arus laut dan mempercepat abrasi di dermaga Ahmad Yani, Ternate Tengah. Kecepatan arus meningkat, wilayah pecah ombak bergeser, dan kawasan pesisir lain menjadi rapuh.

Dampak lingkungannya jelas, seperti terjadi dari reklamasi pantai Kelurahan Gamalama, antara lain kehancuran ekosistem di kawasan pesisir pantai berupa hilangnya keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati yang punah akibat reklamasi itu menghilangnya berbagai spesies mangrove, punahnya spesies ikan, kerang, kepiting, burung, dan berbagai keanekaragaman hayati lainnya.

Dampak lainnya dari reklamasi pantai, menurut penelitian itu, yaitu meningkatnya potensi banjir. Hal itu dikarenakan proyek tersebut dapat mengubah bentang alam (geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) di kawasan reklamasi tersebut. Perubahan tersebut berubah kedalaman laut dan sedimentasi, tingkat kelandaian, komposisi sedimen sungai, pola pasang surut, pola arus laut sepanjang pantai dan merusak kawasan tata air.

Dalam banyak kasus, catat Anugrah dkk, reklamasi menimbulkan berbagai krisis sosio ekologi akibat tidak memperhatikan tata kelola yang baik. Reklamasi telah memperburuk kondisi kehidupan kawasan pesisir dengan perubahan pola mata pencaharian dan tingkat kesejahteraan, lunturnya budaya, ketidakberlanjutan fungsi ruang publik, serta menyebabkan kerusakan ekosistem yang telah merusak keseimbangan lingkungan.

Astuti N. Kilwow, manajer program Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Maluku Utara menilai kebijakan pembangunan pesisir Kota Ternate semakin mengabaikan keselamatan ekologis. Ia menyebut pemerintah justru memperlakukan pesisir sebagai ruang kosong yang bisa direklamasi sesuka hati. Padahal, Ternate adalah kota kecil dengan risiko bencana tinggi.

“Mangrove itu banyak fungsinya. Kala air pasang, dia bisa menjadi penghadang air, jadi habitat bagi biota laut, dan sumber pangan biota. Mangrove juga punya fungsi ekologis yaitu sebagai penyerap karbon. Fungsi ini yang tidak dapat digantikan oleh bangunan maupun penanaman seremonial,” jelas Astuti.

Astuti menilai langkah pemerintah kota terkait dengan kawasan strategis ekonomi baru dengan membabat dan merusak mangrove itu dangkal dan tidak menyelesaikan persoalan. 

“Jadi memang perspektif pembangunan di kota Ternate saat ini masih sangat bias daratan, karena masih pembangunan terus ke laut, di reklamasi terus menerus abrasi sudah terasa sejak 10 tahun lalu,” jelas pengajar di Universitas Khairun itu.

Menurut Astuti, reklamasi itu kejahatan ekologi yang berwatak antroposentris, di mana manusia menempatkan kekuasaan dan seenaknya mengatur tata sistem ekologis. Padahal, alam punya kemampuan mengatur dirinya sendiri tanpa harus campur tangan manusia. “Itu kejahatan ekologis dan bertentangan dengan undang-undang kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil,” tambah Astuti.[]

Liputan untuk kolaborasi sindikasi media di kawasan Sulawesi, Maluku, dan Maluku Utara, dalam program serial #JurnalisJagaWallacea.

Reporter: Rajuan Jumat & La Ode Zulmin

Rabul Sawal
Editor
Redaksi
Reporter