Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Maluku Utara (Malut) menggelar Temu Rakyat bertajuk “Perkuat Gerakan Politik Lingkungan Hidup Melawan Rezim Ekstraktivisme untuk Melahirkan Kedaulatan Rakyat atas Ruang Hidup di Hutan, Pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil”. Acara berlangsung di Aula Desa Balbar, Oba Utara, Tidore Kepulauan, mulai Selasa-Kamis, 25-27 November 2025.

Kegiatan ini melibatkan warga lingkar tambang dari Desa Kawasi, Pulau Obi, Halmahera Selatan, serta Desa Kulo, Woejerana, Lelilef, Gemaf di Halmahera Tengah. Puluhan mahasiswa Universitas Bumi Hijrah Tidore Kepulauan dan jejaring solidaritas juga hadir.

Djul Fikram Isra Malayung, penanggung jawab kegiatan, mengatakan Temu Rakyat digelar untuk memperkuat konsolidasi warga terdampak tambang di Maluku Utara. Menurutnya, perusahaan ekstraktif nikel mengabaikan hak-hak warga dan menimbulkan kerusakan lingkungan secara masif.

“Kami melibatkan masyarakat lingkar tambang untuk memperkuat konsolidasi rakyat terdampak tambang nikel. Sehari-hari mereka resah dengan kondisi lingkungan dan kehidupan yang makin memburuk akibat operasi ugal-ugalan. Sebab, wilayah kita di pesisir dan pulau-pulau kecil telah menjadi korban penjarahan ekstraktivisme, rakyat harus bersatu,” ujar Fikram kepada Kadera, Selasa, 25 November 2025 di lokasi acara.

Data Walhi Maluku Utara 2024 mencatat 127 izin usaha pertambangan tersebar di sembilan kabupaten/kota. IUP terbanyak berada di Halmahera Timur, Halmahera Tengah, dan Pulau Taliabu. Di sektor strategis nasional, ada Harita Nickel di Pulau Obi serta Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera Tengah dan Timur. Selain itu Presiden Prabowo Subianto meresmikan proyek ekosistem industri baterai kendaraan listrik di Halmahera Timur pada 29 Juni 2025.

Walhi juga menyoroti 30 IUP yang mengantongi izin operasi di wilayah pesisir dan 12 izin tambang di tujuh pulau kecil, yakni Doi, Gee, Pakal, Mabuli, Fau, Gebe, dan Malamala.

Astuti N. Kilwouw manager program Walhi Maluku Utara, menilai proyek industri nikel telah menciptakan mitos kemakmuran yang justru memiskinkan warga dan menghancurkan sistem ekologi.

“Ini bisa disaksikan kejadian di pulau Obi. Oleh aktivitas tambang sendiri yang menimbulkan kerusakan ekologis. Jadi Temu Rakyat ini bentuk solidaritas antara warga terdampak untuk berjuang saat ini melawan ekstraktivisme,” jelas Astuti.