Aktivitas pertambangan nikel di wilayah Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, diduga mencemari area sawah hingga pesisir laut. Sedimentasi lumpur juga dilaporkan menimbun lahan pertanian dan merusak budidaya laut warga.

Penambangan nikel itu diduga di antaranya PT Jaya Abadi Semesta (JAS) dan PT Alam Raya Abadi (ARA) yang beroperasi di wilayah hulu pegunungan Wato-wato, Halmahera Timur.

Di Desa Bumi Restu di Kecamatan Wasile, sawah petani terimbun lumpur pada Sabtu, 22 November 2025. Sehari kemudian, sedimen juga terlihat memenuhi pesisir Desa Fayaul Selatan. Kondisi itu berdampak pada penurunan hasil budidaya rumput laut dan terancamnya mata pencaharian nelayan ikan teri.

Sedimentasi lumpur yang memenuhi pesisir Halmahera Timur. Diduga dari aktivitas penambangan nikel. Foto: warga for Kadera

Riswan Sanun, Ketua Umum Forum Mahasiswa Pascasarjana (Formapas) Maluku Utara, menyebut sekitar 18 hektar sawah berusia tanam 17 hari di Desa Bumi Restu rusak berat. “Dampak pencemaran juga sampai ke pesisir. Petani rumput laut dan nelayan ikan teri terancam kehilangan pendapatan sejak PT JAS beroperasi,” jelas Risma kepada Kadera. 

Risman menilai pemerintah provinsi dan Kabupaten Halmahera Timur tidak serius menangani masalah tersebut, padahal Wasile, khususnya Subaim, sudah ditetapkan sebagai lumbung pangan Maluku Utara.

“Ini sudah ketiga kalinya terjadi. Komitmen Pemprov patut dipertanyakan,” kata Risman.

Ia mendesak Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda mengevaluasi izin usaha pertambangan kedua perusahaan dan merekomendasikan pembekuan izin kepada Kementerian ESDM. Menurut Risman, desakan itu merujuk pada UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), UU Minerba, dan PP 22/2021 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Sedimentasi lumpur yang memenuhi pesisir Halmahera Timur. Diduga dari aktivitas penambangan nikel. Foto: warga for Kadera

Julfikar Sangaji, Dinamisator Simpul Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Maluku Utara, menambahkan bahwa Sungai Muria Opiyang di Subaim–sumber irigasi utama–kini berwarna merah kecoklatan. Pencemaran itu diduga kuat akibat aktivitas tambang nikel di hulu sungai.

“Persawahan di Desa Bumi Restu juga mengalami nasib serupa. Petani melaporkan bahwa sawah mereka tercemar, dan dugaan kuat mengarah pada limbah aktivitas pertambangan nikel milik PT Jaya Abadi Semesta (PT JAS) dan PT Alam Raya Abadi (PT ARA),” kata Julfikar.

Menurut Julfikar, pencemaran ini mengancam hasil petani bahkan terancam gagal panen. Warga yang bergantung pada mata pencaharian sebagai petani, resah karena mata pencaharian ini mengancam hasil panen bahkan terancam gagal. Para petani rumput laut dan nelayan ikan teri terancam kehilangan mata pencaharian.

“Limbah yang mengalir ke laut merusak ekosistem tempat mereka mencari nafkah. Air yang keruh dan tercemar membuat rumput laut sulit tumbuh dan populasi ikan menurun drastis. Bagi mereka, pencemaran ini bukan sekadar gangguan sementara, melainkan risiko hilangnya sumber penghidupan,” ungkapnya.

Ia menyoroti ironi pertumbuhan ekonomi Maluku Utara yang mencapai 39 persen, salah satu tertinggi nasional, namun tidak berpihak pada warga lingkar tambang.

“Narasi pembangunan yang dibanggakan tidak sejalan dengan realitas keseharian masyarakat, yang justru merasakan sisi gelap dan brutal dari pertumbuhan ekonomi itu, ungkapnya.