Pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Khairun dikritik usai bertemu secara diam-diam dengan humas Harita Nickel di salah satu kafe di Kota Ternate, pada Kamis, 17 April 2025. Pertemuan itu dinilai sebagai upaya menaklukkan gerakan mahasiswa di kampus yang kritis terhadap perusahaan-perusahaan tambang di Maluku Utara.
Dari tangkapan layar foto yang beredar, tampak M. Fatahuddin Hadi, Ketua BEM Unkhair duduk berseblahan antara Rizal I. Muhmmad dan Handi Andrian, yang tak lain Humas Harita Nickel, di bangku bagian kiri dari belakang. Kemudian diikuti lima pengurus BEM Unkhair lainnya dari bangku sebelah kanan. Rizal sendiri merupakan mantan sekretaris umum BEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unkhair, yang kini bekerja sebagai Divisi NGR di Harita Group.
M. Fatahuddin Hadi, Ketua BEM Unkhair, saat dikonfirmasi, mengakui adanya pertemuan tersebut, tetapi ia bilang sekadar bersilaturahmi dan berdiskusi terkait pertambangan di Maluku Utara.
“Harita bilang mampu menangani soal kerusakan ekologi, mampu menangani soal pembuangan limbah, mampu menangani kecelakaan kerja di Harita. Tapi kan, tadi diskusi juga tong dari BEM juga bantah soal itu. Bantah. Argumentasi-lah,” ujar Fatahuddin.
Fatahuddin menyebut, Humas Harita membandingkan dengan operasi produksi perusahaan lain di Maluku Utara dengan Harita Group di Pulau Obi yang dinilai jauh lebih baik dalam menangani masalah lingkungan, salah satunya terkait penerapan K3 pekerja, termasuk mendirikan UMKM bagi masyarakat lokal.
“Hanya diskusi-diskusi biasa saja sih, Tarada teken kontrak untuk kerja sama untuk kegiatan BEM di support oleh Harita, tarada. Tong tara bahas sampe situ. Tong hanya diskusi-diskusi [terkait pertambangan di Maluku Utara],” jelas Fatahuddin.

Sementara, Abdul Kader Rifai, mantan Sekjen BEM Unkhair periode 2023-2024, mencurigai ada motif terselubung di balik pertemuan ‘gelap’ pengurus BEM Unkhair dengan pihak perusahaan Harita Nickel. Ia menduga, pertemuan-pertemuan semacam itu bisa melemahkan atau menaklukkan gerakan mahasiswa di kampus.
“Kita patut curiga dengan pertemuan tertutup yang dilakukan BEM Unkhair. Dalam banyak kasus, praktik semacam ini bisa jadi sebagai upaya menaklukkan gerakan mahasiswa yang kritis terhadap pertambangan di Maluku Utara,” ujar Rifai, yang juga mantan Ketua BEM Fakultas Pertanian Unkhair.
Pertemuan semacam itu sepatutnya tak terjadi, sebab, kata Rifai, sebagai organisasi perwakilan seluruh mahasiswa di kampus, BEM Unkhair tak perlu menerima undangan tertutup tersebut, apalagi dari perusahaan tambang yang diduga memiliki jejak kotor dalam operasionalnya.
“BEM Unkhair seharusnya menolak bertemu dengan humas Harita Nickel, apalagi dilakukan secara diam-diam di kafe. Sebagai organisasi mahasiswa, yang mewakili seluruh mahasiswa di Unkhair, mestinya kritis dan tegas kepada perusahaan tambang nikel di bawah Harita Group itu,” ujar Rifai.
Rifai menerangkan, dalam banyak laporan yang diterbitkan media dan organisasi masyarakat sipil, terkait dampak buruk yang terjadi akibat operasi produksi Harita Group, terutama di Desa Kawasi, Kecamatan Obi, Halmahera Selatan, mestinya menjadi tolak ukur dan sikap tidak kompromi BEM Unkhair untuk menolak pertemuan apapun.
“Tempat dimana Harita Group beroperasi di Pulau Obi, sebagaimana yang kita ketahui dari banyak laporan, perusahaan telah mencemari sumber-sumber kehidupan warga. Lahan perkebunan warga Kawasi dirampas, sumber air sungai, air bersih, hingga laut dicemari limbah, warga dipaksa hirup udara dari debu batubara, hingga ada upaya memindahkan secara paksa warga dari kampung,” terang Rifai.
Praktik operasi perusahaan semacam itu, kata Rifai, merupakan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia. Dimana hak-hak masyarakat untuk mendapatkan keadilan atas lingkungan yang sehat dan bersih, tak dialami warga Kawasi.
BEM Unkhair, tambah Rifai, sebagai katalisator dalam gerakan rakyat, mesti punya posisi tegas agar turut mengawal isu-isu kemanusiaan dari buruknya pengelolaan tambang dan hilirisasi nikel di Maluku Utara, terutama di Pulau Obi. Sebab, pengelolaan industri yang kotor, bukan hanya merusak lingkungan dan ruang hidup warga Kawasi, tetapi juga merugikan masa depan generasi muda secara berkepanjangan.
“BEM Unkhair harus meminta maaf secara terbuka atas pertemuan gelap tersebut. Pengurus BEM juga harus berkomitmen untuk mengawal isu kerusakan lingkungan dan hak asasi manusia, baik itu di Desa Kawasi, maupun di banyak tempat dimana ada praktik kotor industri nikel yang mengancam ruang hidup masyarakat di Maluku Utara,” jelas Rifai.
Sebelumnya, laporan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyatakan operasi Harita Group di Pulau Obi telah meninggalkan jejak buruk terhadap kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak-hak masyarakat.
Dalam menjalankan usahanya, Harita Group dinilai, identik dengan berbagai pelanggaran dan pembangkangan hukum, deforestasi, degradasi hutan dan lahan yang mengancam biodiversitas, hingga serangkaian kejahatan terhadap hak-hak asasi manusia, seperti perampasan ruang hidup dan pengusiran warga dari ruang hidupnya.
Jatam Desak 12 Bank Hentikan Biayai Harita Group yang Dinilai Korbankan Warga Pulau Obi
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.