Riski Jouronga, warga Desa Kawasi, Kecamatan Obi, Halmahera Selatan, kini berhadapan dengan proses hukum setelah bersama warga menggelar aksi menuntut keadilan. Ia dilaporkan atas dugaan pencemaran nama baik usai menyuarakan keresahan warga terhadap listrik yang tak kunjung ditangani perusahaan Harita Nickel dan pemerintah daerah di kampungnya.

Dalam keterangan tertulis koalisi masyarakat sipil, menyebut, pada 14 April 2025, Riski diperiksa oleh penyidik Satuan Reserse Kriminal Polres Halmahera Selatan. Ia dimintai keterangan atas unggahan video saat memimpin aksi protes bertajuk “Harita Gemerlap, Kawasi Gelap” yang digelar pada 17 Maret 2025 di depan kantor CSR Harita Group di kawasan Ecovillage.

Dalam video tersebut, Riski yang berdiri di atas mobil komando terdengar menyampaikan orasi lantang: “baru kenal uang sedikit sudah gila. Daerah sendiri, desa sendiri saja mau dijual!”. Kalimat itulah yang kemudian menjadi dasar pelaporan terhadap dirinya.

Pada 21 Maret, seorang warga bernama Abiater Dowet Bagimana bersama kuasa hukumnya, Safri Nyong, resmi melaporkan Riski ke Polres Halmahera Selatan. Esok harinya, Riski menerima surat panggilan pertama. Sembila hari kemudian, ia dipanggil kembali untuk menjalani pemeriksaan kedua.

Meski sempat dimediasi oleh pihak kepolisian, proses hukum tetap berjalan karena Riski menolak permintaan untuk meminta maaf dan membayar kompensasi sebesar Rp100 juta kepada pelapor. Ia memilih menunggu proses hukum berjalan, meski statsusnya sebagai terlapor membuatnya dalam tekanan dan kekhawatiran berlapis.

Ahmad, Koalisi Pengacara Peduli Lingkungan Maluku Utara, mengatakan Riski memperjuangkan lingkungan hidup, menuntut pertanggungjawaban perusahaan, serta mempertahankan kampungnya dari upaya relokasi paksa yang dilakukan perusahaan dan pemerintah daerah. 

Hal yang dilakukan Riski sebagaimana dalam ketentuan Pasal 66 UU No.32/2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (PPLH) yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”.

Aturan ini, kata Ahmad, ditegaskan juga dalam Permen LHK Nomor 10 Tahun 2024  yang melindungi individu, kelompok, organisasi, akademisi, masyarakat adat, dan badan usaha yang berjuang untuk lingkungan dari upaya hukum yang bertujuan membungkam aksi mereka.

“Kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat adalah cara bagi warga Desa Kawasi, termasuk Riski Jouronga, sebagai pembela lingkungan untuk menuntut pemenuhan dan perlindungan hak mereka serta berjuang dari upaya relokasi paksa kampung mereka,” jelas Ahmad.

Tindakan kriminalisasi terhadap Riski Jouronga serta pembela lingkungan lainnya melalui UU ITE, tambah Ahmad, berpotensi memperparah pelanggaran HAM dan kritik yang disampaikan para pembela lingkungan serta warga yang dirampas ruang hidupnya.

Mubalik Tomagola, aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Maluku Utara, menambahkan bahwa aksi yang dilakukan Riski merupakan puncak dari segala keresahan atas siasat buruk pemerintah, perusahaan, dan pihak anggotan keamanan terhadap warga Desa Kawasi yang disampaikan secara terbuka.

Menurut Mubalik, hal ini dijamin oleh UU PPLH maupun hukum internasional seperti Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU Nomor 12 Tahun 2005. Oleh karena itu, kata Mubalik, negara harus melindungi Riski Jouronga dan waarga Kawasi dari ancaman kriminalisasi.

“Proses hukum yang tengah dijalankan ini bukan hanya mencederai kebebasan berpendapat, namun juga mengancam seluruh pembela HAM yang berada di Pulau Obi, terkhusus Desa Kawasi. Terlebih lagi, penggunaan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE seringkali menjadi alat untuk menekan kritik dan membungkam suara-suara yang melawan ketidakadilan,” terang Mubalik.

Koalisi mencatat adanya pola intimidasi yang sistematis terhadap warga dan tokoh masyarakat sejak aksi protes berlangsung. Mereka menyebut keterlibatan anggotan TNI dan Polri dalam pengamanan perusahaan sebagai faktor yang memperburuk situasi.  Sejumlah warga juga mengaku didatangi aparat, dimintai keterangan, bahkan diancam agar tidak lagi ikut aksi.

“Sejak aksi demontrasi pertama pada 17 Maret 2025 hingga aksi lanjutan dengan tema “Menuntut Keadilan atas Lingkungan yang Sehat dan Bersih Tanpa Polusi” pada 15 April 2025, tokoh masyarakat, tokoh agama, pejuang lingkungan hidup, dan warga masyarakat lainnya mendapatkan sejumlah bentuk intimidasi dari anggota TNI-Polri yang bertugas mengamankan perusahaan,” jelas Mubalik.

Koalisi masyarakat sipil mendesak, agar, pertama, menertibkan anggota Polri dan TNI yang ada di Pulau Obi; kedua, menghentikan menghentikan proses hukum terhadap Riski Jouronga agar ia dapat melanjutkan perjuangannya untuk mempertahankan Desa Kawasi dari upaya relokasi serta menuntut lingkungan hidup yang sehat dan berkelanjutan.

Ketiga, menjamin bahwa pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE tidak disalahgunakan untuk melakukan kriminalisasi terhadap warga Desa Kawasi; dan, keempat, penegak hukum harus melindungi hak setiap warga negara untuk menyuarakan pendapat mereka terkait isu lingkungan dan HAM sesuai dengan amanat konstitusi.