Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyoroti kejanggalan dalam putusan praperadilan yang menolak sebagian gugatan keluarga dan pendamping hukum terhadap penetapan tersangka 11 warga adat Maba Sangaji, Halmahera Timur, Maluku Utara.
Wetub Toatubun, mewakili YLBHI, menyatakan bahwa terdapat sejumlah kejanggalan dalam pertimbangan hakim Pengadilan Negeri (PN) Soasio, Tidore Kepulauan, yang dinilai tidak memperimbangan bukti dan prosedur secara utuh.
“Praperadilan seharusnya menjadi ruang untuk menguji legalitas proses sah tidaknya penetapan tersangka oleh polisi, bukan sekadar mengamini klaim kepolisian. Hakim mestinya melihat secara menyeluruh akar masalah dan kenapa warga menolak aktivitas tambang,” jelas Wetub kepada Kadera, Kamis, 19 Juni 2025.
Menurut Wetub, praperadilan gagal menjawab substasi utama: apakah penetapan tersangka sudah memenuhi unsur hukum acara pidana, termasuk adanya bukti permulaan yang cukup dan pemeriksaan terlebih dahulu terhadap para warga sebelum ditetapkan sebagai tersangka.
Dari keterangan saksi dan fakta-fakta yang disampaikan dalam persidangan, proses penangkapan dan penetapan tersangka sudah janggal, kata Wetub. Warga hanya pergi ke hutan yang kini dikapling perusahaan, menolak ruang hidup mereka rusak, sungai tercemar, dan wilayah adat mereka digusur perusahaan.
“Warga pergi ke hutan membawa parang, tombak, dan panah, bukan untuk melukai polisi atau pekerja tambang. Mereka berjaga-jaga untuk berburu rusak, memotong kayu, membuat tenda, dan keperluan makanan di hutan. Kan tidak ada yang terluka atau dilukai oleh warga. Dari sini saja sudah jelas, ada yang aneh dari putusan,” kata Wetub.
“Masa petani di kampung bawa parang dan tombak untuk berburu tidak boleh? Lalu bagaimana dengan polisi yang bawa senjata? Kenapa aparat ini juga tidak ditetapkan tersangka. Bahkan saat negosiasi, warga tinggalkan semua barang-barang tajam itu di tenda, sementara polisi bawa itu [senjata].”
Kejanggalan juga saat putusan, yang dinilai ambiguitas, sebab, para hakim berpendapat berbeda saat memutuskan sidang praperadilan. Ada hakim yang mengatakan bisa mengadili perkara, ada yang tidak. Padahal fakta-fakta persidangan telah memperlihatkan secara jelas masalah struktural bukan sekadar sah tidaknya, tetapi soal warga yang berjuang mati-matian agar ruang hidup dan masa depan anak-anak mereka tidak dirusak tambang.
“Putusan itu memperlihatkan bahwa hakim tidak mengerti sama sekali apa yang diperjuangkan warga Maba Sangaji. Kami mencurigainya ada kepentingan yang sengaja diselundupkan di balik putusan itu. Polisi dan para hakim harus diperiksa profesionalisme dan etikanya, termasuk moralnya,” tambah Wetub.
Hakim mesti digugat moralnya, sebab, protes masyarakat Maba Sangaji merupakan protes atas tanah dan tercemarnya lingkungan yang diduga dari aktivitas tambang nikel PT Position. Artinya, kata Wetub, proses penyidikan harus dihentikan dan warga segera dibebaskan.
“Karena, ketika orang memperjuangkan hak atas lingkungan yang baik dan sehat tidak boleh digugat secara perdata maupun dituntut pidana sebagaimana dalam Pasal 66 UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Keputusan Jaksa Agung No.8/2022 dan Peraturan Mahkamah Agung No.1/2023, yang menjadi panduan dalam menangani kasus pembela lingkungan. Jika kasus ini tidak dihentikan. Artinya ini murni kriminalisasi bagi pejuang lingkungan,” terang Wetub.
YLBHI juga menyoroyi pola kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang mempertahankan ruang hidupnya dari ancaman tambang nikel. Wetub mengatakan, kasus di Maba Sangaji hanyalah satu dari banyak contoh represi alat kekerasan negara terhadap masyarakat yang berjuang mempertahankan wilayah adaynya.
“Kriminalisasi ini tidak bisa dipisahkan dari kepentingan industri tambang di Halmahera Timur. Negara hadir bukan sebagai pelindung rakyat, tapi sebagai alat pemulus investasi, dan merusak ruang hidup warga,” terang Wetub.
Sebelumnya, sebelas masyarakat adat Maba Sangaji, termasuk tetua adat dan pemuda kampung, ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Maluku Utara atas beberapa tuduhan.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Darutat No.12/1951 tentang membawa senjata tajam tanpa izin, Pasal 162 UU No.3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara karena merintangi kegiatan pertambangan yang telah berizin dengan ancaman pidana penjara 1 tahun, kemudian Pasal 368 Ayat (1) jo Pasal 55 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) karena diduga memeras dan mengancam.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.