Sejumlah motoris di Pelabuhan Sultan Mudaffar Sjah II, Kelurahan Dufa-Dufa, Ternate Utara, Kota Ternate, mendesak pemerintah provinsi Maluku Utara untuk mengevaluasi tarif angkutan laut yang tertuang dalam surat keputusan (SK) gubernur. Mereka menilai, tarif Rp75 ribu per penumpang terlalu rendah dan tidak sebanding dengan biaya operasional yang mereka tanggung.

Sudarmin A. Hirto,Sekretaris Koperasi Wange Mabala, mengatakan bahwa mereka tidak merasa keberatan atas tarif speedboat yang ditetapkan, namun menilai nomilanya tidak realistis. Olehnya itu, pada Rabu (23/7/2025), para motoris sempat menghentikan operasional atau mogok kerja sebagai bentuk protes.

“Para motoris rela bertaruh nyawa mengantar penumpang tujuan Ternate-Jailolo. Namun, pendapatan tidak sesuai. Ini bukan kerja bakti,” ujar Sudarmin kepada Kadera di ruang kerjanya, Kamis, 24 Juli 2025.

Menurut Sudarmin, pembahasan penyesuain tarif sebenarnya sudah sempat dilakukan bersama dengan Dinas Perhubungan dan DPRD Provinsi Malut. Bahkan sudah dibentuk tim untuk membahas evaluasi. Namun setelah Sherly Tjoanda dilantik menjadi Gubernur Malut, tim tersebut justru dibubarkan, dan hingga kini belum ada kelanjutan.

“Pada Januari 2024, kami sudah melayangkan surat pada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku Utara untuk meninjau SK tarif tersebut. Namun, hampir satu tahun, surat tersebut baru direspon pada 5 Februari 2025,” katanya.

Ia mendesak agar Pemprov Malut segera membentuk kembali tim evaluasi tarif supaya ada kepastian dan tidak memberatkan para motoris. Pihaknya memberikan batas waktu selama sebulan. Bila tak direspons, mereka akan menggelar aksi protes.

Keluhan utama para motoris terkait biaya bahan bakar minyak (BBM). Mereka tidak mendapatkan akses ke minyak tanah subsidi, sehingga harus membeli dari masyarakat dengan harga yang jauh lebih mahal dari biasanya.

“Minyak tanah bersubsidi untuk rumah tangga masyarakat dengan harga Rp4.000 per liter. Kami beli dari sisa rumah tangga itu dengan harga Rp10 ribu per liter. Itu belum termasuk biaya oli,” ungkapnya.

Idaw, 40 tahun, salah satu motoris, mengungkapkan bahwa tarif yang mahal tidak sebantinf dengan biaya operasional harian sehingga sangat memberatkan.

“Kalau boleh dari Rp75 ribu bisa dinaikkan jadi Rp100 ribu. Karena kadang saat ke Jailolo banyak penumpang, balik kemari hanya dapat satu atau dua penumpang,” ungkapnya.

Idaw menyebut, selama puluhan tahun jadi motoris, ia belum pernah mendapatkan bantuan BBM subsidi dari pemerintah. “Belum pernah dapat minyak tanah subsidi. Perliter Rp9-10 ribu. Makanya mesti peninjauan kembali tarif. Sudan ada koordinasi dengan Pemprov, tapi ini kita masih tunggu,” ucapnya.

Rabul Sawal
Editor
La Ode Zulmin
Reporter