Pelarangan pengibaran bendera Jolly Roger, simbol kelompok bajak laut dalam serial One Piece di Kota Ternate, Maluku Utara, menjelang peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia, menuai sorotan publik.
Kebijakan tersebut dinilai mencerminkan kegagalan negara dalam memahami dinamika budaya masyarakat, khususnya generasi muda.
Herman Oesman, sosiolog dari Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU), menilai pelarangan bendera Straw Hat Pirates (Topi Jerami) yang viral menjelang HUT RI di ruang-ruang publik dengan dalih simbol bajak laut yang subversif terhadap nasionalisme, sebagai tindakan yang keliru secara sosiologis.
“Jika meminjam istilah Antonio Gramsci, ini mencerminkan bentuk kontrol simbolik oleh negara, di mana otoritas berusaha mempertahankan hegemoni ideologis dengan membatasi simbol-simbol alternatif yang dianggap mengancam tatanan nasional,” ujarnya kepada Kadera.id dalam keterangan tertulis pada Rabu, 6 Agustus.
Menurut Herman, dalam perspektif sosiologi politik simbolik, pelarangan tersebut merupakan bagian dari manajemen makna, yakni upaya negara mengarahkan persepsi publik bahwa nasionalisme hanya dapat diekspresikan melalui simbol-simbol resmi negara.
Namun di sisi lain, lanjutnya, masyarakat, terutama generasi muda merespons larangan ini dengan mempertahankan bendera One Piece sebagai bentuk ekspresi identitas budaya yang bersifat universal dan tidak bertentangan dengan cinta tanah air.
“Bendera One Piece merupakan simbol ikonik yang melampaui sekadar fiksi. Dalam konteks sosiologis, simbol tengkorak dengan topi jerami itu mencerminkan semangat perlawanan terhadap otoritas mapan, kebebasan individu, serta solidaritas dalam komunitas subkultural,” paparnya.
Lebih jauh, Herman menjelaskan bahwa dalam struktur masyarakat modern, simbol-simbol seperti ini menjadi representasi dari identitas kolektif yang merefleksikan ketidakpuasan terhadap ketimpangan sosial, otoritarianisme, hingga dehumanisasi dalam sistem kapitalisme global.
Mengutip teori sosiologi simbolik dari Herbert Blumer (1969), Herman menyebut simbol bajak laut tak lagi semata lambang kriminalitas, melainkan telah mengalami transformasi makna di kalangan penggemarnya, menjadi simbol perjuangan untuk kebebasan, keadilan, dan kesetiaan terhadap nilai-nilai persahabatan.
“Simbol ini telah mengalami proses re-semiotisasi, yakni penafsiran ulang makna simbol dari yang semula dikontrol otoritas dominan menjadi simbol resistensi kultural yang diadopsi oleh masyarakat,” ujarnya.
Herman juga mengutip Dick Hebdige (1979) yang menyebut fenomena ini sebagai semiotika perlawanan, yaitu bagaimana kelompok subkultur merebut dan mengubah makna simbol-simbol arus utama untuk menegaskan identitas mereka yang berbeda dari nilai-nilai dominan.
“Dalam konteks One Piece, bendera Topi Jerami menjadi simbol mimpi kolektif akan dunia yang bebas dari dominasi, otoritarianisme, dan ketidakadilan struktural,” jelasnya.
Ia menegaskan, dalam perspektif sosiologi, simbol seperti bendera One Piece merupakan medan pertempuran makna antara otoritas dan masyarakat.
“Upaya pelarangan menjelang HUT ke-80 RI ini tidak hanya mencerminkan kecemasan otoritas terhadap simbol non-resmi, tetapi juga membuka ruang diskusi tentang bagaimana masyarakat memaknai nasionalisme secara lebih inklusif dan dinamis. Karena itu, tak perlu berlebihan dalam menanggapi ekspresi budaya seperti bendera One Piece,” pungkasnya.
Pemkot Ternate Akan Larang Warga Kibarkan Bendera One Piece Menuju HUT RI
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.