Pengadilan Negeri Soasio, Tidore, kembali menggelar sidang lanjutan terhadap 11 warga Maba Sangaji, Halmahera Timur, yang dilaporkan oleh Polda Maluku Utara atas dugaan pengancaman terhadap karyawan PT Position.
Dalam persidangan kedua yang digelar Rabu, 13 Agustus 2025, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan sejumlah saksi dari pihak keamanan serta perwakilan perusahaan. Total saksi yang dihadirkan sebanyak lima orang, terdiri dari dua anggota Polda Maluku Utara, satu anggota Polres Halmahera Timur, dan dua perwakilan dari PT Position. Selain itu, tokoh adat Sangaji Maba juga turut hadir memberikan keterangan.
Kuasa hukum 11 warga Maba Sangaji, Irfan Alghifari, menilai kesaksian-kesaksian tersebut justru memperkuat posisi kliennya yang berupaya mempertahankan wilayah hutan dari eksploitasi.
“Banyak fakta penting terungkap dalam persidangan, salah satunya bahwa eksploitasi hutan oleh PT Position dilakukan lebih dulu, sebelum adanya dialog dengan masyarakat,” jelas Irfan usai sidang.
Menurutnya, aktivitas eksploitasi dimulai sejak tahun 2024, sementara pendekatan persuasif dengan masyarakat baru dilakukan pada awal 2025. Ia juga menegaskan bahwa masyarakat adat memiliki otonomi tersendiri dalam menjaga wilayahnya, yang selama ratusan tahun hidup berdampingan dengan hutan, termasuk komoditas pala dan berbagai tanaman hutan lainnya.
“Bobato dan Kapita sebagai bagian dari struktur adat, telah menjaga kawasan ini secara turun-temurun. Mereka punya hak adat yang tidak bisa diabaikan,” tegasnya.
Terkait kepemilikan senjata tajam yang menjadi salah satu poin dalam dakwaan, Irfan menyebut bahwa tidak ada bukti yang mengarah pada unsur pengancaman. Para terdakwa pun telah menjelaskan bahwa senjata tersebut digunakan untuk keperluan perjalanan masuk ke hutan belantara, dan pernyataan itu tidak dibantah oleh para saksi.
Sementara itu, kuasa hukum lainnya, Maharani Caroline, menyoroti dakwaan pemerasan sebesar Rp5 juta yang disebut oleh saksi JPU. Ia menegaskan bahwa hal tersebut merupakan denda adat, bukan pemerasan sebagaimana dituduhkan.
“Kalau disebut pemerasan Rp5 juta, itu keliru. Yang sebenarnya terjadi adalah penerapan denda adat sesuai aturan lokal,” ungkap Maharani.
Ia juga menjelaskan bahwa tim kuasa hukum telah mengajukan eksepsi terhadap empat perkara yang diajukan, salah satunya dengan merujuk pada prinsip anti Strategic Lawsuit Against Public Participation (anti-SLAPP). Mereka berharap majelis hakim mempertimbangkan eksepsi tersebut karena kasus ini berkaitan dengan upaya perlindungan lingkungan oleh warga.
“Kami merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Kami berharap hakim tidak menghukum para terdakwa yang sebenarnya sedang memperjuangkan lingkungan mereka,” pungkas Maharani.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.