Laut tak lagi bernyanyi di Salafen. Hanya berdesir pelan, seperti seseorang kehabisan cerita.

Meta berdiri di ujung dermaga tua separuh papan lantainya telah copot, dilahap garam dan waktu. Di hadapannya, air laut berwarna keruh kehijauan, memantulkan bayangan matahari pagi yang menggantung malas. Ia tak mendengar bunyi sirip hiu yang biasa datang menjelang sasi, tak juga langkah kaki anak-anak kecil yang dulu melompat dari batu ke batu sambil bernyanyi lagu-lagu lama.

“Dulu laut ini tahu kapan harus diam, kapan harus bicara,” gumamnya.

Baca Juga:Sang Nabi

Ia menggenggam pasir dari tepi pantai. Pasir itu tak sehalus dulu, tercampur debu hitam dari bukit sebelah yang kini jadi lokasi tambang nikel. Aroma besi tergesek memenuhi udara. Tahun-tahun berjalan begitu jauh, hingga musim pun tak lagi menepati janji. Tak ada yang bilang ini tahun berapa. Tapi Meta tahu, waktu telah terlalu lama berjalan ke depan, dan terlalu banyak yang tertinggal di belakang.

Di kejauhan, papan sasi yang dulu berdiri tegak seperti tiang doa, kini miring dan lumutan. Hanya tinggal satu yang tersisa. Sisanya telah dicabut paksa, atau hilang, dibawa air pasang dan janji pembangunan.

“Mama-mama sudah mulai lelah, Meta,” kata Ina Almina sore itu, sambil menyulam jaring dengan mata rabun dan tangan gemetar.

“Letih menjaga sesuatu yang terus ditinggalkan?” tanya Meta pelan.

Baca Juga:Gas Air Mata

“Bukan. Lelah karena masih berharap.”

Mereka duduk di bawah pohon ketapang akarnya mencengkeram tanah sekuat ingatan. Di sekitar mereka, kampung mulai sepi. Rumah-rumah kayu berubah jadi hunian semen untuk pekerja tambang. Gereja tua masih berdiri, tapi loncengnya tak pernah dibunyikan lagi—entah karena rusak, atau tak ada lagi yang percaya pada waktu.

Ina Almina merogoh saku sarungnya, mengeluarkan sebuah kalabasa kecil, tempurung laut yang diisi pasir putih.

“Kalau pasir ini mulai menghitam,” bisiknya, “itu tanda waktu kita tinggal sedikit.”

Meta menerimanya tanpa banyak tanya. Ia tahu, bukan cuma waktu yang dimaksudkan Ina. Tapi laut. Tapi adat. Tapi dunia yang mereka cintai, yang perlahan-lahan berubah jadi debu nikel.

Baca Juga:Affan

Ronisel pulang larut malam, sepatu botnya meninggalkan jejak lumpur kemerahan di lantai rumah. Bau solar dan logam melekat di bajunya, seperti noda yang tak bisa dicuci meski dengan sabun, apalagi oleh doa.

Meta tak menyalakan lampu listrik. Ia duduk di bangku dapur, hanya diterangi lampu minyak yang dibiarkan menyala kecil. Dari balik tirai dapur, ia melihat bayangan adiknya menggantung jaket di paku kayu, lalu membuka helm tambang.

“Bukit di belakang mereka gali lagi, kah?” tanyanya tanpa menoleh.

Ronisel berhenti sejenak. “Bukit itu bukan milik kita lagi, Kaka.”

Meta tersenyum kecil. “Bukan milik kita, bukan milik siapa-siapa. Tapi kita kubur arwahnya hidup-hidup.”

Ronisel membuka botol air, meneguk cepat. Ia tampak lelah. Lebih dari lelah tubuh. Ada sesuatu dalam matanya—sejenis kekalahan yang disembunyikan dengan diam.

“Kalau saya tidak kerja di sana, Ina Almina tidak bisa beli obat,” katanya.

Meta berdiri, melangkah pelan ke jendela. Di luar, suara jangkrik pun terdengar malas. “Obat apa yang bisa menyembuhkan laut yang sekarat?”

“Laut itu sudah mati sejak lama,” jawab Ronisel pelan.

Sunyi menyusup di antara mereka. Sunyi yang tajam seperti karang terumbu yang patah. Meta ingin membantah, tapi mulutnya tak bergerak. Ia tahu: laut yang mati tak hanya di luar sana, tapi juga di dalam tubuh adiknya.

Ronisel duduk di lantai, menatap tangannya yang hitam oleh sisa tanah logam. “Kita jaga laut bertahun-tahun, tapi yang datang cuma janji. Sasi dibuka, orang-orang pesta, lalu lapar lagi seminggu kemudian. Sasi tidak bisa jadi nasi, Kaka.”

Meta duduk di seberangnya. Mereka berhadapan, dua tubuh dari rahim yang sama, kini dipisahkan oleh tanah remuk dan laut yang sunyi.

“Saya ingat waktu kita masih kecil,” kata Meta lirih. “Kita pernah tunggu malam-malam begini hanya untuk lihat lampu-lampu perahu di kejauhan. Kita percaya, setiap cahaya membawa rezeki. Sekarang cahaya yang datang dari bukit itu malah bikin kampung gelap.”

Ronisel menunduk. Tak ada kata yang bisa membantah. Hanya diam menggantung di antara mereka, seperti jaring robek yang tak sempat dijahit.

“Kalau begitu,” bisik Meta, “kita buka sasi ini sebagai doa perpisahan.”

Dulu, sebelum tambang datang dan jalan-jalan kerikil dibeton untuk truk-truk raksasa, Meta dan Ronisel sering berenang di teluk kecil belakang batu Tomolol. Mereka namai tempat itu Kolam Arwah, meski tidak tahu arti kata ‘arwah’ selain dari cerita Ina Almina. Di sanalah mereka belajar menyelam, memungut kerang, dan mendengar laut bersuara seperti bisikan doa.

Suatu sore, saat langit memerah dan angin membawa wangi garam yang manis, Ronisel kecil pernah berkata, “Kaka, laut ini seperti Ibu.” Meta tertawa sambil memercikkan air ke wajah adiknya. “Kenapa?” tanya Meta. “Karena dia tidak pernah marah kalau kita pulang terlambat.” Itu ucapan bocah yang belum tahu, bahwa laut pun bisa murka kalau ia dilupakan.

Satu kali, ketika sasi dibuka, seluruh kampung berkumpul di bibir pantai. Anak-anak berdiri di barisan depan, menunggu aba-aba dari tetua. Begitu papan sasi dicabut, teriakan riang membahana, seperti musim panen yang turun dari langit. Meta dan Ronisel ikut menangkap ikan dengan ember, mata mereka bersinar seolah laut memberi izin.

Pagi itu langit seperti lupa caranya cerah. Awan abu-abu menggantung rendah, dan angin yang bertiup dari arah barat membawa bau logam—bukan dari jaring nelayan, tapi dari gunung yang dikeruk perlahan, seperti luka yang digaruk terus-menerus.

Perempuan-perempuan Waifuna berkumpul di bawah pohon matoa tua. Mereka mengenakan baju adat, kepala mereka dihiasi anyaman daun kelapa muda. Tak banyak yang tersisa dari generasi yang dulu menyanyi sambil menanam mangrove. Yang datang hari itu hanya tujuh orang. Sisanya sudah tua, pindah ke kota, atau kelelahan melawan angin.

Meta berdiri di sisi Ina Almina, memegang papan sasi terakhir yang sempat dicat ulang semalam meski warnanya tetap pudar seperti harapan diguyur hujan bertahun-tahun. Di seberang pantai, laut tampak tenang. Terlalu tenang. Tak ada ikan meloncat, tak ada burung elang yang menukik. Hanya gelombang kecil seperti napas orang tua yang tidur terlalu dalam.

“Kau masih ingat doanya?” tanya Ina.

Meta mengangguk. Ia menunduk, lalu mulai melafalkan kata-kata tua yang dulu diajarkan neneknya. Suara Meta pelan, nyaris seperti bisikan, tapi udara tiba-tiba menjadi berat. Seakan alam menahan napas untuk mendengar.

“Duhai laut yang menyimpan rahim…

Biarkan kami menyentuhmu sekali lagi…

Biarkan kami mencintai tanpa melukaimu…

Dan bila ini perpisahan, jadilah ia lembut seperti kasih sayang…”

Usai doa diucap, papan sasi perlahan dicabut. Gemuruh kecil datang dari arah timur—bukan petir, bukan mesin, melainkan suara seperti ribuan ikan berenang di bawah permukaan. Seorang perempuan tua menangis diam-diam.

Kemudian, sesuatu terjadi. Dari kejauhan, kawanan hiu kecil muncul, berenang perlahan di dekat garis pantai. “Itu bukan tanda bahaya,” bisik Ina. “Mereka datang menonton.”

Burung maleo melintas di atas kepala mereka, dan air pasang naik lebih cepat dari biasanya. Alam seolah menjawab: mereka belum lupa.

Di kejauhan, dari balik jendela rumah-rumah kampung, beberapa wajah menyembul diam-diam. Tak ada yang datang mendekat, tapi mereka menonton. Mungkin mereka ragu. Mungkin mereka malu. Tapi hari itu, sepasang mata anak kecil ikut menunduk saat doa dibacakan. Dan mungkin, itu cukup.

Meta memejamkan mata. Di benaknya, suara masa kecil kembali mengiang. Ronisel berteriak dari dalam air, “Kaka’, lihat ini! Kerang paling besar!” Dan di tempat yang sama ia berdiri sekarang, Meta kecil dulu tertawa, memeluk laut seperti memeluk ibu kandungnya.

Kini ia membuka mata. Laut sudah berubah, tapi belum sepenuhnya mati.

“Ini bukan sasi terakhir,” katanya lirih, lebih pada dirinya sendiri. “Ini sasi pertama dari dunia yang ingin sembuh.”

Malam turun perlahan di kampung Salafen. Bulan sabit menggantung rendah seperti mata tua yang masih mengintip dunia dari sela-sela awan. Di rumah kayu yang menghadap laut, Meta menyalakan pelita. Cahaya kuning redup menari-nari di dinding, seperti kenangan yang belum mau pergi.

Ronisel berdiri di ambang pintu. Ia tak berkata apa-apa, hanya menyandarkan helm tambangnya di tanah. Baju kerjanya masih kotor, tapi tangannya membawa sesuatu—seekor anak penyu yang tersesat ke arah jetty tambang.

“Dia nyasar tadi siang,” katanya pelan. “Kupikir lebih baik kubawa ke sini.”

Meta menatap adiknya. Untuk pertama kalinya sejak sekian lama, ia melihat sesuatu dalam mata Ronisel yang bukan hanya lelah. Ada keraguan. Ada perlawanan kecil yang tumbuh—seperti tunas mangrove yang mencuat dari lumpur pekat.

Ia bangkit dan berjalan bersama Ronisel ke pantai. Malam itu, tanpa upacara dan tepuk tangan, mereka melepaskan anak penyu itu ke laut. Tak ada yang tahu apakah ia akan selamat. Tapi setidaknya, malam ini, laut menerima kembali satu napas kecil dari mereka.

Suara hiu terdengar jauh, nyaris tak nyata. Angin membawa bau garam yang bersih. Meta menatap Ronisel. “Besok, kita tanam lagi mangrove di belakang rumah,” katanya.

Ronisel mengangguk. “Aku akan datang… mungkin tak pakai sepatu bot lagi.”

Mereka berjalan kembali ke rumah. Tapi langkah mereka ringan, seperti beban yang dilepas perlahan. Di belakang, laut masih beriak kecil. Seperti suara ibu yang menidurkan anak-anaknya dengan lagu-lagu paling tua di dunia.

Di kejauhan, papan sasi yang dicabut tadi pagi masih tergeletak di tepi air. Basah, retak, tapi belum hancur. Seperti harapan—rapuh, tapi masih ada.

Dan laut, setelah sekian lama diam dan menjauh, akhirnya mengirim gelombang kecil yang menyentuh kaki Meta. Lalu diam.[]

 

M Said Marsaoly adalah Pegiat Salawaku Institute, bermukim di Teluk Buli, Halmahera Timur