Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Khairun (Unkhair) menggelar dialog publik bertajuk “Nasionalisme di Era Digital: Antara Viralitas dan Arti Kemerdekaan” pada Kamis malam, 14 Agustus 2025, di Kedai Mambo, Kelurahan Sasa.

Diskusi ini turut menyoroti fenomena pelarangan penggunaan bendera bajak laut Jolly Roger dari film animasi One Piece, meski fenomena tersebut belum terlihat secara masif di Kota Ternate.

Sekretaris Jenderal BEM Unkhair, Mustadin Togubu, menyampaikan bahwa menjelang HUT ke-80 Republik Indonesia, fenomena pengibaran bendera One Piece dianggap oleh sebagian orang sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah. Namun, pemerintah menilainya sebagai penghinaan terhadap bendera Merah Putih.

“Viralnya bendera One Piece ini seolah dimaknai sebagai bentuk makar oleh sebagian pihak. Padahal, ada pesan yang ingin disampaikan: bagaimana kita memaknai kemerdekaan di tengah berbagai ketimpangan,” ujarnya.

Mustadin menambahkan, diskusi ini tak hanya bertujuan menggali makna kemerdekaan, tetapi juga menjadi ajang silaturahmi antar pengurus BEM Unkhair dan ketua-ketua BEM dari berbagai fakultas.

“Kegiatan ini adalah bagian dari upaya konsolidasi untuk merespons penangkapan 11 pejuang lingkungan. Kami berkomitmen bersama teman-teman BEM SI Pusat untuk terus menyuarakan isu ini ke tingkat nasional,” tegasnya.

Sementara itu, akademisi Unkhair, Dr. Syahrir Ibnu, menilai respons pemerintah, baik pusat maupun daerah, terhadap fenomena bendera One Piece terkesan berlebihan. Menurutnya, aksi tersebut merupakan ekspresi kebebasan berpendapat dan bentuk protes terhadap kondisi sosial-politik saat ini.

“Daripada mempersoalkan hal simbolik seperti ini, sebaiknya pemerintah lebih fokus menyelesaikan persoalan mendesak seperti krisis lingkungan dan masalah kesejahteraan rakyat,” ungkapnya.

Ia bilang, masyarakat di Maluku Utara belum sepenuhnya merasakan arti kemerdekaan, terutama dalam konteks ekologis dan hak atas ruang hidup yang sehat. Penangkapan 11 masyarakat adat yang mempertahankan lingkungannya menjadi contoh nyata.

Senada, M. Hasan Basri, praktisi hukum, menyatakan bahwa pengibaran bendera One Piece tidak bisa dikategorikan sebagai tindakan makar atau pelanggaran hukum.

“Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan secara tegas menyebutkan dalam Pasal 21 ayat (2) bahwa bendera negara harus dikibarkan lebih tinggi dan lebih besar dari bendera lainnya,” jelasnya.

Ia menambahkan, aksi ini merupakan simbol ketidakpercayaan terhadap pemerintah sekaligus bentuk cinta dan kepedulian masyarakat terhadap bangsa.

“Pengibaran bendera One Piece adalah simbol perlawanan terhadap kebijakan, bukan bentuk permusuhan terhadap negara. Ini adalah ekspresi masyarakat yang peduli terhadap arah bangsa,” tegas Hasan.