Musisi asal Maluku Utara yang dikenal dengan sapaan Presiden Tidore diduga melakukan pelecehan berbasis online terhadap seorang seniman tato. Dugaan itu mencuat setelah korban membagikan tangkapan layar percakapan di media sosial.

Kasus itu bermula ketika korban mengunggah karya tato miliknya. Pelaku lalu mengirimkan komentar melalui direct message atau pesan langsung yang dianggap melecehkan pada awal Juli lalu. Korban speak up dengan mempublikasikan ke akun instagram pribadinya.

“Jujur [perilaku tersebut] melukai kita [saya] pe hati. Bahkan dapa info ada yang bela [pelaku], katanya gara-gara kita balas ‘wkwkwk’ jadi salah,” tulis korban. Ia menduga, percakapan macam itu yang membuat banyak korban tidak berani bersuara. “Kalau korban speak up, ya, ini akan jadi korban yang salah.”

Tuty Ariela, aktivis perempuan Maluku Utara menilai komentar bernuansa pelecehan tidak bisa dianggap sebagai lelucon. Apa yang dilakukan Presiden Tidore turut melanggengkan lelucon pemerkosaan atau rape jokes.

“Apa yang lucu dari pelecehan hingga itu kerap dijadikan justifikasi para pelaku dan pendukungnya untuk menormalisasi perilaku merendahkan tubuh orang lain? Maskulinitas tidak harus dibuktikan dengan melecehkan gender lain,” jelas Tuty kepada Kadera, 28 Agustus 2025.

Lelucon pemerkosaan, secara eksplisit, menormalisasi segala jenis pelecehan dan mengubahnya menjadi guyonan tanpa memikirkan perasaan penyintas. Contoh lelucon pemerkosaan yang disampaikan pelaku, “Mau toto“, atau “tato deng toto samua tong suka”. Dalam bahasa lokal toto adalah payudara.

Menurut Tuty, candaan seharusnya membuat orang lain tertawa. Mendefinisikan orang tertawa hanya dari balasan pesan wkwkwk dalam konteks masalah ini justru upaya merendahkan korban.

Tuty menerangkan, langgengnya lelucon pemerkosaan bukan sebuah kebetulan, melainkan buah hasil dari budaya patriarki yang mengakar di masyarakat. Perempuan, pada umumnya, lebih sering menjadi korban lelucon pemerkosaan karena ketimpangan relasi kuasa.

Hal senada disampaikan Taty Balasteng, aktivis perempuan. Menurutnya, anggapan bahwa pelecehan adalah sebuah “candaan” justru menormalisasi diskriminasi gender. “Ini malah membenarkan tindakan pelaku dan membuat korban semakin takut untuk berbicara,” tegasnya.

Taty menambahkan bahwa relasi kuasa turut melegitimasi masalah ini. Sebab, menurutnya, pelaku berpikir karena ia seorang publik figur dan laki-laki, maka wajar melakukan itu.

“Trauma bahkan rasa tidak percaya diri bisa saja hadir pada diri korban, karena merasa dikucilkan, sehingga pentingnya penanganan kasus pelecehan sekecil apapun,” jelas Taty.

Kasus ini umum dikenal sebagai kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang menjadi salah satu bentuk kekerasan yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Sejak tahun 2017 sampai 2024, telah Komnas Perempuan telah menerima 7.815 kasus yang teridentifikasi sebagai bentuk KBGO.

KBGO diartikan sebagai bentuk kekerasan dan eksploitasi yang memanfaatkan teknologi informasi komunikasi untuk menyerang gender dan atau seksualitas seseorang, terutama perempuan, hingga kelompok rentan. Bentuknya meliputi pelecehan, penguntitan, ancaman, pencemaran nama baik, hingga pemerasan.

Candaan seksis termasuk dalam pelecehan seksual sebagaimana tercantum dalam Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 Pasal 5 ayat (2) poin (a) “menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kodisi tubuh, dan/atau identitas korban.” dan poin (c) “menyampaikan upacan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada korban.”

Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) juga telah mengakui KBGO sebagai bagian dari kekerasan seksual barbasis elektronik atau KSBE.

Rabul Sawal
Editor
Nurdafni K. Hamisi
Reporter