MASA lalu bahasa (Indonesia) tidak dimulai pada 1928. Kita keseringan mengingat yang disumpahkan kaum muda. Di situ, memang terbaca masalah bahasa Indonesia. Namun, ada masa-masa sebelumnya yang ikut menentukan kemauan kaum muda menamakan bahasa Indonesia atau pemberian “nyawa” baru, yang membedakannya dengan (sebutan) bahasa Melayu, yang telah lama bertumbuh di Nusantara. Apakah 1928 adalah tahun yang menjadi batas adanya bahasa Melayu dan bahasa Indonesia? Apakah kita dianjurkan mengerti bahwa itu sekadar pergantian nama, yang nantinya berdampak dalam struktur kebahasaan dan berkonsekuensi politis?

Setelah 1928 dan sumpah yang sulit diwujudkan, pengajaran bahasa Melayu masih berlangsung di Nusantara. Para guru tetap mengajar bahasa Melayu. Buku-buku pelajaran bahasa Melayu terus terbit atau cetak ulang berdasarkan edisi yang lama. Kita saja masih belum pasti menentukan pembuatan pelajaran untuk bahasa Indonesia atau penulisan buku pelajaran bahasa Indonesia yang pertama pada masa kolonial.

Pencarian dan pembuatan jawaban membuat kita harus meneteskan keringat, bersin-bersin, boros uang, dan kurang tidur. Kini, kita tidak dalam penemuan jawaban tapi membuat ingatan yang bisa terdapat dalam garis sejarah bahasa di Indonesia.

Pada 1921, terbit buku berjudul Bahasa Melajoe Jaitoe Pemimpin Oentoek Melandjoetkan Pengadjaran Bahasa Melajoe jilid I. Yang menyusun: AH Hadi, Soeleiman Z, Taslim, dan AD Kamil. Mereka mengusahakan buku yang tipis bermaksud: “(1) Soepaja terbitlah perasaan tjinta bahasa dan dapat mengetahoei serta mengindahkan segala apa-apa jang terkandoeng dalam bahasa itoe; (2) Akan membiasakan karang-mengarang dengan ringkas dan terang serta elok; (3) Akan meloeaskan pengetahoean bahasa; (4) Akan mempeladjari beberapa sjarat bahasa jang soekar dan jang perloe diketahoei.” Yang mempelajarinya adalah murid-murid bumiputra. Mereka belajar berbarengan Indonesia terus bergejolak dengan adanya perkumpulan atau sarekat politik, peningkatan terbitan surat kabar, menyebarnya ide-ide Indonesia, dan kesadaran pentingnya partai politik.

Pada masa 1920-an, bahasa Melayu diajarkan dengan maksud-maksud yang mulia. Mereka yang belajar menjadi besar atau dewasa. Artinya, mereka melihat tanah jajahan melalui bahasa Melayu. Mereka merasakan modernitas dan kolonialisme dengan bahasa Melayu. Bahasa yang mungkin mudah dipelajari tapi belum “disumpahkan” menjadi bekal perlawanan dan penentuan nasib tanah jajahan. Yang kita ingat adalah bahasa Melayu diajarkan di sekolah-sekolah, yang menandakan ada ketegangan dalam pilihan berbahasa saat bahasa Belanda terlalu menguasai dan bahasa-bahasa di pelbagai pulau belum tahu jaminan-jaminan perkembangannya.

Pada akhirnya, yang ikut dan tercatat dalam buku besar sejarah adalah perkembangan bahasa Indonesia. Kita tidak tahu nasib bahasa Melayu di sekolahan dan surat kabar setelah Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, 1938. Dugaan saja, bahasa Melayu masih ada meski samar-samar “menghilang” dan berganti ke arah yang lain.

Pada 1950, terbit buku berjudul Seluk Beluk Bahasa Indonesia susunan Sabaruddin Ahmad. Buku ditulis dan terbit di Medan tapi penggunaannya di sekolah menyebar ke pelbagai kota di banyak pulau. Buku yang memastikan bahwa pelajaran di sekolah dinamakan bahasa Indonesia, bukan lagi bahasa Melayu. Bahasa Indonesia bertumbuh bersama peristiwa politik dan impian-impian besar yang bermekaran akibat revolusi.

Yang diterangkaan Sabaruddin Ahmad: “Bahasa Indonesia sungguh masih sangat muda usianja, baru kira-kira 40 tahun ini sadja mendjadi buah bibir orang. Sebelum itu bahasa Melaju-lah jang berkumandang memperdengarkan irama suaranja jang merdu diseluruh Indnesia ini.” Pada masa 1950-an, kemenangan milik bahasa Indonesia? Bahasa Melayu masih menjadi sebutan dan kenangan tapi di kepala kita muncul peta yang berbeda.

Pada masa 1950-an, banyak terbit buku pelajaran bahasa Indonesia di pelbagai jenjang pendidikan. Ada pula beberapa buku yang membahasa sejarah bahasa Indonesia. Orang-orang yang pintar malah memasalahkan ejaan dan tata bahasa. Pokoknya, masa 1950-an adalah masa subur munculnya buku-buku mengenai bahasa Indonesia.

Kita temukan satu buku berjudul Bahasa Kesatuan yang digarap oleh Sjair dan teman-teman. Buku terbitan Djambatan yang berada di tangan adalah jilid II. Kita agak penasaran, kenapa sebutannya bahasa kesatuan, bukan bahasa persatuan seperti yang dicantumkan dalam sumpah 1928?

Pada saat Indonesia bimbang oleh demokrasi dan revolusi cuma kecerewetan, pelajaran bahasa Indonesia dianggap penting setelah pengakuan kemerdekaan dan kedaualatan. Yang menjadi tujuan terbitnya Bahasa Kesatuan untuk Indonesia: “Bahasa ialah milik kebudajaan kebangsaan rakjat jang terpenting.” Kalimat yang dibaca agak lucu saat kita telanjur belajar bahasa Indonesia pada akhir abad XX. Para penyusun buku mungkin salah dalam membuat kalimat.

Selanjutnya, ada lagi kalimat yang minta perhatian: “Pengadjaran bahasa mestilah menolong memperdalam pemandangan murid-murid tentang bahasa kesatuan bagi seluruh Indonesia.” Kita cukup paham gencarnya pengajaran bahasa Indonesia tapi pembuatan kalimat untuk menjelaskannya malah bikin ragu.
Buku-buku dari masa 1920-an dan 1950-an kita baca lagi untuk mengelak dari penyebutan dan peringatan bahwa Oktober itu “bulan bahasa”, yang dimulai oleh rezim Orde Baru. Kitaa sedang malas dan malu membuat hari atau bulan peringatan. Yang kita inginkan adalah buku-buku lama tetap memiliki pembaca, yang membuat bahasa masih dapat terkenang dan dihadirkan dalam halaman-halaman sejarah Indonesia.


Kabut merupakan nama pena dari seorang pengarsip, esais, dan kritikus sastra Indonesia.