Sajogyo Institute menilai penggunaan Pasal 162 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang dituntut jaksa kepada sebelas warga adat Maba Sangaji sebagai bentuk penyalahgunaan hukum. Pasal yang seharusnya mengatur ketertiban operasional tambang justru dipakai untuk membungkam masyarakat adat yang memperjuangkan ruang hidupnya.
Penilaian itu tertuang dalam dokumen amicus curiae atau sahabat pengadilan yang diajukan Sajogyo Institute ke Pengadilan Negeri Soaiso, Tidore Kepulauan, saat sidang pleidoi atau pembelaan, pada Jumat, 10 Oktober 2025. Amicus ini menjadi pertimbangan moral dan hukum bagi majelis hakim yang menangani perkara ini, di mana jaksa menuntut warga dengan pidana penjara empat hiingga tujuh bulan.
“Pasal ini sudah sering dikritik sebagai pasal karet dan keranjang sampah karena terlampau sering digunakan sebagai perisai atas semua upaya protes yang bermaksud mengoreksi ketimpangan dan ketidakadilan di sektor agraria-pertambangan,” jelas Moh. Ali Rahangiar, peneliti Sajogyo Institute sekaligus penyusun dokumen amicus curiae, yang diterima redaksi Kadera, Senin, 13 Oktober 2025.
Menurut Moh. Ali, penerapan pasal ini menyalahi prinsip konstitusioonal dan melanggar Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), yang secara tegas menyebut bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
“Apa yang dilakukan sebelas terdakwa pada dasarnya adalah tindakan membela tanah adat mereka dari invasi kapitalisme pertambangan yang rakus tanah dan sumber daya alam, abai terhadap kehidupan dan hak-hak masyarakat adat setempat,” jelas Moh. Ali.
Tindakan membela dan memperjuangkan tanah adat kata Moh. Ali merupakan tindakan yang sepenuhnya berdasar secara hukum, baik hukum domestik maupun hukum internasional.
Dalam UUD 1945 menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak masyarakat adat, juga dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang mengakui hak ulayat masyarakat adat, dan dalam Pasal 6 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pengakuan dan jaminan hukum itu juga tertuang dengan jelas dalam deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat atau United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) yang telah diakui oleh Indonesia menyatakan bahwa masyarakat adat memiliki hak atas tanah, wilayah, dan sumber daya yang secara tradisional mereka miliki atau kuasai.
Sejalan dengan ketentuan UNDRIP, Standar Norma dan Kebijakan Pembela HAM No. 15 tentang Perlindungan Masyarakat Adat yang dikeluarkan oleh Komnas HAM No. 5 tentang Perlindungan Masyarakat Adat juga telah mengatur hak-hak masyarakat adat untuk dimintai pertimbangan dalam urusan-urusan kebijakan dan rencana pembangunan yang berdampak pada kehidupan mereka.
Selain membela dan memperjuangkan tanah adat dan lingkungan hidup, sebelas terdakwa harus dipandang sebagai pembela hak asasi manusia (human rights defenders) karena apa yang mereka lakukan pada intinya adalah membela dan mempertahankan hak yang paling fundamental dari hak asasi manusia yaitu huak untuk hidup berikut syarat-syarat penopangnya.
“Dengan sendirinya perbuatan mereka bukanlah perbuatan pidana. Lebih dari itu, sebagaimana telah kami tunjukkan, JPU sendiri tidak punya dasar moral-etis untuk mendakwa dan menuntut para terdakwa berdasarkan ketentuan-ketentuan pidana,” jelas Moh. Ali.
“Sajogyo Institute mendesak agar majelis hakim membelaskan para terdakwa dari segala tuntutan atau menyatakan lepas dari segala tuntutan hukum,” tambahnya.
Majelis hakim juga diminta untuk memutus perkara ini dengan prinsip-prinsip keadilan, menghormati hak masyarakat adat, dan hak asasi manusia.
“Keputusan yang adil tidak hanya akan memberikan kelegaan kepada para terdakwa, tetapi juga menjadi preseden positif dalam penanganan konflik agraria di Indonesia. Hal ini akan menjadi pijakan penting untuk memastikan penghormatan atas hukum adat, memelihara keutuhan sosial masyarakat, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,” catat Sajogyo Institute.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.