KONON, pikiran orang yang sedang ruwet memerlukan nasihat. Namun, ia tidak mau nasihat yang biasa diomongkan banyak orang atau basi banget. Yang belum berhasil menemukan kalimat meredakan ruwet boleh mendengarkan lagu yang cengeng, kacau, atau intsrumentalia. Bila lagu-lagu tidak bisa meredakan berarti ganti menonton film. Gagal lagi?
Yang perasaannya sedang tidak beres dan remuk ingin mendapatkan ketenangan. Apakah harus pergi ke kuburan atau hutan rimba? Boleh saja pergi ke ujung dunia sambil menangis sekencang-kencangnya. Yang tidak mau lelah menuju ujung duni biasanya masuk kamar mandi. Pastinya, ia tidak mandi selama tiga jam yang mengakibatkan masuk angin. Apakah ia memerlukan lagu-lagu yang makin membuatnya terjatuh dan terpuruk? Beranikah menonton film yang menguras emosi? Bagaimana jika semua itu tidak berhasil memberesi perasaan?
Usulan yang kita ajukan adalah membaca buku. Pikiran ruwet dan perasaan remuk malah dianjurkan membaca buku? Orang bisa sekarat atau membawa dirinya masuk ke ruang gawat darurat di rumah sakit yang terdekat. Mengapa menyodorkan buku?
Beberapa tahun lalu, kaum muda dan agak tua di Indonesia bikin masalah dan mencari-cari jawaban. Mulut mereka “penuh” dengan omongan yang seleranya Stoik. Di media sosial, orang-orang menghambur-hamburkan Stoik. Setiap hari adalah Stoik, yang membuat dunia sepertinya terlalu murung dan babak belur.
Yang mengejutkan adalah penjualan buku-buku mengenai Stoik laris banget. Ribuan orang membaca. Yang mereka temukan adalah kalimat-kalimat yang berasal dari ribuan tahun lalu. Kalimat-kalimat itu “keramat” sekaligus mampu menjawab semua persoalan yang bikin dunia berduka. Pikiran dan perasaan memerlukan kalimat-kalimat kuno yang masih bisa datang di zaman sekarang.
Ada yang membaca buku berjudul Setiap Hari Stoik (2022), yang disusun oleh Ryan Holiday dan Stephen Hanselman. Buku yang tebal, memuat 366 renungan untuk menjalani hidup. Artinya, bacaan harian selama setahun. Buku itu menganjurkan kehidupan, bukan kematian bagi yang pikirannya sedang ruwet dan perasaannya sedang remuk.
Pembaca mendapat kalimat yang dibuat oleh Epictetus. Kalimat jangan dinilai dengan ukuran keindahan atau kemerduan. Dibaca saja: “Kita menangis kepada Tuhan Yang Mahakuasa, bagaimana cara kita terlepas dari siksaan ini? Dungu! Bukankah kamu punya tangan? Mungkinkah Tuhan lupa memberikan sepasang tangan? Duduk dan berdoalah agar ingusmu tidak mengucur. Hapus sajalah ingusmu dan berhentilah mencari kambing hitam.”
Kalimat yang cukup bijak. Kalimat yang mengandung nasihat mudah dipahami. Yang membaca menganggap itu bukan klise. Pesan yang terpenting adalah menghapus ingus. Kita berimajinasi saja yang menghapus ingus menggunakan tangan, lengan baju, sapu tangan, atau tisu. Ingus yang membuktikan bahwa manusia lemah. Manusia yang mungkin kalah dan salah. Maka, pesan terpenting dari ribuan tahun lalu adalah menghapus ingus.
Pembaca menemukan lagi kalimat yang tegas. Kalimat untuk orang yang tidak mau lemah dan menyerah. Yang disampaikan dari abad-abad silam oleh Marcus Aurelius: “Cukup sudah hidup menyedihkan dan penuh rengekan ini. Berhentilah bermain-main! Mengapa kamus bersusah hati? Apa yang baru di sini? Apa yang begitu membingungkan? Pihak yang bertanggung jawab?” Yang dianjurkan kepada pembaca adalah tidak membuang-buang waktu untuk merampungkan masalah. Bila selalu ingin bertanya, ia akan melewati seribu tulisan yang mengakibatkan hidupnya selesai tapi tidak mendapatkan apa-apa.
Keinginan mendapat kalimat-kalimat berlanjut dengan membuka buku berjudul 700+ Kata-Kata Inspiratif Para Wanita Hebat (2012) susunan Carolyn Warner. Ingatlah, buku untuk bacaan wanita. Yang lelaki boleh sedikit membaca atau meninggalkan buku sambil cemberut. Buku itu isinya kalimat-kalimat yang berasal dari album kutipan yang dibuat Carolyn Warner selama bertahun-tahun. Setiap membaca buku, ia memilih dan menyalin beberapa kutipan. Anggaplah ia kolektor kutipan, yang akhirnya membuat seleksi agar bisa terbaca oleh orang lain.
Yang dipilih adalah kutipan yang berasal dari Ruth Bader Ginsburg: “Kadang-kadang orang mengatakan hal-hal yang jahat dan tidak bijaksana, dan ketika mereka melakukan itu, yang terbaik adalah menutup telinga – berhenti menyimak, dan bukannya balas membentak dalam kemarahan dan ketidaksabaran.” Yang memberi nasihat itu bukan orang Indonesia. Namanya asing, yang membuat pembaca kadang lebih percaya dibandingkan bila membaca kutipan dari motivator-motivator Indonesia.
Dua buku yang memuat banyak kalimat. Pembaca dijamin kenyang jika khatam membaca dua buku. Yang teringat biasanya sedikit. Pembaca bingung gara-gara menemukan ratusan kalimat yang dianggap cocok dengan kondisi pikiran dan perasaannya. Padahal, kemampuan mengingat terbatas. Akibatnya, ia harus membaca berulang-ulang setelah kecanduan kutipan-kutipan.
Yang masih ingin membaca buku demi menemukan kalimat-kalimat terdahsyat dapat memilih buku garapan Jean Seunghwan yang berjudul Ketika Aku Tak Tahu Apa yang Aku Inginkan (2021). Buku berasal dari Korea Selatan, bukan Eropa atau Amerika Serikat. Buku yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yang laris. Yang memikat adalah keterangan di bawah judul, yang ikut memicu orang mau membeli dan membacanya: “Kalimat-kalimat kehidupan yang mengembalikan diriku yang hilang.”
Penulis memberi ilustrasi: “Semakin menuju puncak musim dingin, semakin besar rasa kesepian. Menyaksikan ranting-ranting pohon kering ditinggal daun-daunnya yang berguguran membuat semangat seperti lenyap. Apakah cuaca dingin yang membuat kita seperti ini? Hubungan dengan sesama pun terasa semakin renggang. Ketika musim dingin, orang sering merasa kesepian sesering orang merasa kedinginan.”
Selama berabad-abad, sepi tidak mau meninggalkan dunia. Ia terus menghuni dunia dan mendatangi miliaran orang, dari masa ke masa. Sepi yang menyiksa. Sepi membuat orang kehilangan kesombongan. Sepi terlalu menuntut agar orang melakukan beragam usaha untuk membunuh, mengusir, dan mengubur.
Yang dianjurkan oleh Jean Seunghwan: “Apabila kita sekarang mengalami kesepian, kita harus merasakan kesepian yang jauh lebih besar, baru bisa melupakan rasa sepi yang sekarang ini.” Biasanya orang yang merasakan sepi membuat daftar lagu yang didengarkan agar cocok dengan sepi. Di industri musik Indonesia, ada ratusan lagu yang bertema sepi. Banyak lirik lagu yang menggunakan diksi sepi. Akibatnya, sepi dan lagu mudah bersekutu.
Yang merasakan sepi mendengarkan lagu Naif: Sepi, hatiku sepi/ tiada lagi mimpi/ Aku tak ingin lagi jadi hampa. Ada yang memilih mendengarkan TRIAD: Malam ini kusendiri/ tak ada yang menemani/ seperti malam-malam/ yang sudah-sudah// Hati ini selalu sepi/ tak ada yang menghiasi/ seperti cinta ini/ yang selalu pupus. Yang berlagak puitis memilih menikmati lagu Ebiet G Ade, yang mengandung pernyataan: “Saksikan bahwa sepi lebih berarti dari keriuhan.”
Yang semula membaca buku-buku, berhak melanjutkan dengan terkapar di kasur mendengarkan lagu-lagu. Orang membutuhkan kalimat-kalimat untuk percaya masih hidup meski terlalu bermasalah.
Kabut merupakan nama pena dari seorang pengarsip, esais, dan kritikus sastra Indonesia

Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.