“Bagaimana hati kecil hakim malam ini?”

PERTANYAAN itu saya tulis di beranda Facebook, malam sebelum sidang putusan untuk sebelas warga adat Maba Sangaji. Saya tidak menggugat, hanya bertanya—karena saya tahu, di balik jubah dan palu hakim itu ada manusia yang mungkin gelisah di hadapan nuraninya sendiri.

Malam itu, saya membayangkan ruang sidang yang esok akan penuh: keluarga tahanan yang berdoa, orang-orang kampung yang menempuh perjalanan jauh dari Halmahera, dari kampung, demi mendengar kabar keadilan, juga mereka yang berpeluh agar kali Sangaji kembali bening. Kepada Dia yang membolak-balik hati setiap hamba, saya titipkan doa yang tak selesai: semoga ada cahaya kecil di dada siapa saja yang akan memutuskan nasib manusia lain.

Keesokan harinya, kabar itu datang: sebelas warga adat Maba Sangaji dinyatakan bersalah. Saya membaca berita itu dengan dada berat—bukan kaget, tapi seperti perasaan yang berulang: dari halaman sastra yang dulu saya cintai. Dalam Bumi Manusia, setelah kalah di pengadilan kolonial, Nyai Ontosoroh berkata kepada Minke, “Kita sudah melawan, Nak, Nyo. Sekalipun kalah.” Kalimat itu kini seperti suara yang menyeberang zaman—dari ruang sidang Surabaya tempo dulu, ke ruang sidang Tidore hari ini.

***

Sepertinya tak ada profesi yang begitu rapuh di hadapan sejarah seperti hakim. Ia berdiri di tepi jurang yang memisahkan hukum dari keadilan. Di bawahnya, mengalir arus kepentingan, suara publik, dan godaan kuasa—yang bisa menyeret siapa pun yang lengah.

Kita tahu, seorang hakim memang pelayan hukum, terikat pada teks dan pasal. Namun, ia juga manusia, yang diam-diam tahu bahwa teks tak selalu mampu menampung kebenaran. Sebab, apa arti pengadilan bila “adil” justru tak hadir di ruang sidang? Di situ hukum ditegakkan, pasal-pasal dibacakan, tapi kebenaran kerap tak punya saksi.

Maka pengadilan hakikatnya tak hanya tempat hukum bekerja, tapi tempat nurani diuji. Hakim berdiri di tengahnya—antara kewajiban menegakkan undang-undang dan panggilan hati mendengar yang tak tertulis. Hakim dengan begitu, bukan hanya juru tafsir, tapi penjaga makna dari kata “adil”. Dan siapa yang tahu, saat palu diketuk, suara siapa yang sebenarnya terdengar—hukum, atau hati kecilnya sendiri?

Kita tahu, dalam sejarah, para filsuf pernah mengingatkan: keadilan sejati lahir dari keseimbangan antara akal dan ruh. Dari timur saya teringat Konfusius, hakim yang baik bukan yang paling hafal aturan, tapi yang berhati sebening air: mampu memantulkan wajah siapa pun tanpa menghakimi. Di Yunani, Plato membayangkan keadilan sebagai harmoni antara bagian-bagian jiwa—bila nafsu, keberanian, dan kebijaksanaan menempati tempatnya masing-masing. Maka seorang hakim, idealnya, tak hanya corong undang-undang, tapi penjaga keseimbangan itu: antara hukum yang dingin dan manusia yang hangat.

Namun barangkali di sinilah tragedinya: dunia modern menuntut hukum menjadi seobjektif mungkin, hingga lupa bahwa keadilan bukan rumus, tapi juga pengalaman batin. Di pengadilan Soasio Tidore, mungkin yang diuji tak hanya sebelas warga adat Maba Sangaji, tapi juga nurani seluruh kita—apakah kita masih mampu dengar suara dari hutan yang dikeruk, dari sungai yang mengeruh, dari tanah yang kehilangan nama leluhurnya?

Sebab hukum, bila dipisahkan dari kebenaran yang hidup di dada manusia, hanya akan jadi ritual sunyi. Palu diketuk, putusan dibacakan, tapi di luar sana, di sekitar kali sangaji, ada seorang ibu yang menangis, ada anak kecil yang tak mengenal lagi ‘Kaplo’—tempat bendera adat ditancap di hulu kali sangaji—dan dalam kesunyian itu, tulisan “Bagaimana hati kecil hakim malam ini?” di beranda facebook itu bergaung: bahwa sebelum setiap keputusan, ada ruang kecil di dada manusia tempat Tuhan menitipkan cahaya penimbang.

Barangkali, keadilan sejati tak pernah sepenuhnya lahir di meja hijau. Tapi tumbuh di dalam diri, di tempat yang tak bisa dipaksakan oleh pasal. Keadilan mungkin adalah detak lembut yang membuat manusia gentar saat mengkhianati kebenaran. Maka mungkin benar kata Nyai Ontosoroh: “Kita sudah melawan, sekalipun kalah.” Sebab melawan ketidakadilan—dengan hati jernih—adalah kemenangan itu sendiri.[]