Warga Desa Kawasi, Kecamatan Obi, Halmahera Selatan, datangi kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Maluku Utara, di Sofifi, Tidore Kepulauan, pada Kamis, 27 November 2025. Mereka menuntut agar wakil rakyat itu turun tangan mengambil langkah tegas tidak merelokasi warga ke kawasan Ecovillage.
Merlina Nanlesi, warga Kawasi, mengatakan mereka tidak mau direlokasi dari kampung. Kampung yang mereka tempati saat ini merupakan warisan nenek moyang yang telah menghidup warga selama ratusan tahun.
“Torang datang kamari jauh-jauh dari Kawasi bertemu wakil rakyat ini. Kase kaluar biaya hanya mo sampaikan bahwa torang orang Kawasi tara mau dipindahkan ke Ecovillage. Torang pe rumah di sini dan akan tetap di sini. Biar perusahaan deng pemerintah paksa kase pindah, torang tara akang mau,” jelas Merlina.
Merlina dan warga Kawasi bersama jaringan solidaritas Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Maluku Utara, mahasiswa, warga terdampak industri nikel dari Halmahera Tengah, dan Perkumpulan Save Sagea menggelar aksi hingga hearing dengan Komisi III DPRD Maluku Utara.
Warga Kawasi kini hidup waswas karena sebagian besar rumah-rumah di kampung telah dibongkar oleh perusahaan Harita Nickel. Merlina dan warga lainnya teguh bertahan.
Pasalnya pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan telah mengeluarkan Peraturan Bupati Halmahera Selatan Nomor 72 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Relokasi Kawasan Permukiman Desa Kawasi ke Kawasan Permukiman Baru. Tim terpadu juga telah dibentuk sejak dua tahun lalu.
Abadan Nomor, Imam Kampung Kawasi, mengatakan mereka tidak pernah tahu dan tidak pernah dilibatkan dalam pembentukan peraturan daerah atau sosialisasi mengenai relokasi. Mereka kerap dipaksa dengan aparat kepolisian dan tentara untuk menerima relokasi.
Menurut Abadan, baik yang umat Kristen maupun Muslim tidak ada yang akan pindah ke kawasan Ecovillage. Ia akan terus berjuang mencari keadilan agar hak-hak warga di kampungnya tidak direnggut sekaligus tetap teguh mempertahankan kampungnya.
“Sampai kapan pun, kami [warga Kawasi] tidak akan dan tidak pernah mau dipindahkan ke Ecovillage. Disana [Ecovillage] itu kuburan, bukan kampung. Kami akan pertahankan kampung ini sampai titik darah penghabisan. Sebab, ini tanah leluhur kami, tanah yang akan kami wariskan untuk masa depan anak-anak kami,” jelas Abadan.
Yuliyana Jurumudi, warga Kawasi lainnya, menambahkan bahwa selama ini sumber-sumber kehidupan mereka telah rusak akibat akvitias penambangan dan operasi pabrik nikel. Sungai Toduku yang dahulu jernih dan jadi sumber air utama warga berubah cokelat kemerah-merahan.
“Sungai itu sekarang so tara bisa pake minum. Padahal dulu jernih skali. Torang curiga perusahaan sengaja kase rusak supaya torang pindah. Tapi itu [relokasi] torang tara akan mau,” jelasnya.
Mubalik Tomagola, Manager Advokasi Tambang Walhi Maluku Utara, mendesak pemerintah mencabut peraturan relokasi tersebut dan memulihkan seluruh kerusakan yang diakibatkan dari aktivitas industri nikel Harita Nickel atau Harita Group.
“Kami bersama warga menolak upaya paksa yang sengaja untuk memindah-paksakan warga Kawasi dari kampung. Pemerintah harus mencabut semua peraturan yang mengorbankan warga,” jelas Mubalik.
Mubalik juga mendesak agar perusahaan memulihkan kerusakan ekologis dan memenuhi hak-hak dasar warga Kawasi. Pemerintah juga didesak melakukan moratorium dan evaluasi secara menyeluruh Harita Nickel termasuk tidak menerima lagi izin-izin tambang baru di Pulau Obi.
Walhi dan warga mendesak agar DPRD Maluku Utara membentuk panitia khusus (Pansus) guna mengusut dugaan pelanggaran dalam proses relokasi. Ia menilai ada penyalahgunaan kewenangan, kekerasan aparat, pembiaran perusakan, hingga penghancuran rumah warga.
“Sebab, pembentukan Pansus penting untuk memastikan akuntabilitas pemerintah daerah, transparansi penggunaan kewenangan, dan jaminan perlindungan bagi warga Desa Kawasi,” terang Mubalik.

Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.