SETIAP pesepak bola atau siapa pun yang mencintai sepak bola, pasti mengenal nama Socrates Brasileiro Sampaio de Souza Vieira de Oliveira. Dikenal luas sebagai “Sang Dokter”, ia bukan hanya pemain yang brilian, tetapi juga seorang revolusioner yang cerdas dan pahlawan yang berdiri tegak membela kebenaran.

Tahun 1980 adalah masa yang sarat drama kemanusiaan–sebuah oase di tengah gelapnya kediktatoran militer di Brazil. Di tengah situasi itu, Socrates, yang saat itu menjadi kapten tim nasional Brazil (Selecao) dan Corinthians, menjadikan sepak bola sebagai alat perjuangan. Ia menggunakan sepak bola untuk suarakan demokrasi dengan mencetak gol.

Pada 2013, Eric Cantona dalam Football Rebels bercerita: “Kita semua ingin mengubah dunia. Itu wajar saja. Dan ketika Anda membuat jutaan orang berdiri hanya dengan mencetak gol, Anda tiba-tiba berpikir Anda bisa melakukannya. Setelah itu Anda butuh ide, keberanian, kesadaran sosial dan politik. Dokter Socrates melakukannya..”

Sejarah Socrates selalu kembali digaungkan dalam konstelasi sepak bola, terutama saat perhelatan besar seperti FIFA World Cup atau Piala Dunia. Seperti yang sudah-sudah, kita menyaksikan Piala Dunia lebih daripada sekadar kompetisi dan bisnis, ada panggung demonstrasi yang terkonsolidasi tanpa kepentingan elite.

Disana, nilai-nilai kemanusiaan disuarakan, penjajahan dikecam, dan solidaritas gerakan massa tumbuh melampaui sekat-sekat nasionalisme. Salah satu contohnya, bendera Palestina terus dikibarkan oleh penonton di tribun sebagai bentuk protes terhadap genosida yang dilakukan Israel dan para sekutunya.

Saya teringat Dennis Nicolaas Maria Bergkamp atau lebih dikenal dengan Dennis Bergkamp, pemain legendaris asal Belanda yang pernah bersinar bersama tiga klub besar, Ajax Amsterdam, Arsenal dan Inter Milan. Pada suatu waktu Bergkamp berkata: di balik setiap tendangan bola, harus ada pemikiran.

Bergkamp memberi sinyal kuat kalau bola yang melesat dari kaki adalah proses elaborasi antara pikiran dan tindakan, rencana dan manifestasinya. Jika dibaca dalam konteks kehidupan, maknanya menjadi sangat filosofis: sepak bola mengajarkan banyak hal tentang nilai-nilai kehidupan.

Sekalipun banyak catatan dan kisah inspiratif di jagat sepak bola–olahraga modern yang awal mulanya berkembang di Daratan Biru, tepatnya di Inggris ini–juga tercatat sisi gelap yang tak bisa diabaikan. Kekerasan, bentrokan, hingga kematian dan kekacauan sosial kerap mewarnai sejarahnya.

Di Inggris, misalnya, sisi gelap itu mewujud dalam sebuah fenomena sosial yang kompleks: hooliganisme. Fenomena ini lahir dari akar konflik yang dalam, dan terus membekas dalam sejarah panjang dunia sepak bola.

Istilah hooligan memiliki akar sejarah yang cukup menarik. Awalnya, kata ini digunakan untuk merujuk pada sekelompok keluarga Irlandia yang suka membuat keributan, dan kemudian menjadi populer di Inggris sebagai sebutan untuk fans sepak bola yang terlibat dalam kekerasan dan kerusuhan. Fenomena hooliganisme dalam sepak bola modern di Inggris bermula sejak abad ke-19, ketika sejumlah kelompok suporter mulai melakukan tindakan kekerasan di sekitar stadion.

Secara umum, hooliganisme punya sejarah panjang dan perkembangannya terus berlanjut, baik di Inggris maupun di berbagai negara lain, termasuk Indonesia. Di Liga 1 musim 2023/2024, misalnya, dilansir dari DetikSport, sepuluh insiden kerusuhan penonton hanya dalam 21 pekan kompetisi. Salah satunya yang mencolok terjadi saat Dewa United bertandang ke Markas PSM Makassar di Stadion Gelora BJ Habibie, Parepare, Sulawesi Selatan. Kericuhan pecah di tribun selatan–suporter saling lempar hingga berujung pengeroyokan dan empat orang dilaporkan terluka.

Contoh lain terjadi saat PSIS Semarang menjamu PSS Sleman. Kericuhan pecah menjelang akhir laga ketika PSIS unggul 1-0. Yoyok Sukawi, pemilik klub PSIS, terkena lemparan benda keras dan harus menerima delapan jahitan. Kekacauan yang terjadi pada 2 Desember di kandang Mahesa Jenar ini memaksakan Polresta Semarang memeriksa sebanyak 13 orang.

Masih ingatkah dengan Tragedi Kanjuruhan? Hery Prasetyo (2025) dalam catatannya menulis, “Tragedi Kanjuruhan bukan hanya menjadi duka bagi sepak bola Indonesia, tetapi juga potret nyata budaya impunitas masih mengakar. Keadilan bagi korban terasa jauh. Hukuman ringan bagi para pelaku hanya mempertegas bahwa nyawa masyarakat tidak lebih dari angka.”

Peristiwa ini merupakan kekejaman negara terhadap rakyat, tetapi justru secara progresif berubah, membentuk soliditas baru di antara suporter yang sebelumnya saling membenci dan menyerang. Hasilnya, tuntutan keadilan bergelegar dari segala penjuru; Bandung, Jakarta, Surabaya sampai dengan Makassar. Di tengah aksi-aksi tersebut, satu seruan yang paling lantang terdengar dari corong: tegakkan hukum yang adil.

Semangat itu jelas lahir dari ketimpangan struktural yang diciptakan oleh sistem kekuasaan. Di titik inilah sebuah ketegasan menjadi lebih jelas: suporter bukan sekadar penonton sepak bola, tetapi tetapi bisa menjelma sebagai kekuatan sosial. Spanduk-spanduk protes seperti perampasan lahan di Taman Sari, Dago Elos, Pakel, Kulon Progo, Bara-baraya Makassar dan lain sebagainya sering dibentangkan. Isu sosial lain pun terus diperbincangkan di bangku tribun–menunjukan bahwa stadion bukan hanya ruang hiburan, tetapi juga ruang perlawanan.

Bagaimana dengan GOT?

Kericuhan suporter juga kerap mewarnai jalannya Gurabati Open Tournament (GOT), sebuah turnamen sepak bola yang digagas oleh Ikatan Pemuda Pelajar Gurabati (IPPG). Dimulai sejak 1989, GOT kini telah menginjak usia ke-36 tahun dan telah digelar sebanyak 27 kali. Pada tahun 2025 ini, kompetisi semakin meluas, tak hanya diikuti tim-tim dari Kota Tidore Kepulauan seperti biasanya, tetapi juga dari Kota Ternate, Halmahera Tengah, Halmahera Utara, Halmahera Selatan dan ada juga utusan dari tanah Papua, Abstrak Jayapura yang dikomandoi mantan striker Tim Nasional Indonesia, Boaz Salosa.

Namun, semangat kompetisi tak selalu beriringan dengan nilai-nilai sportifitas. Kericuhan tak terhindarkan terjadi dalam laga antara Perstug melawan Maldini FC, serta Pusam kontra Persiga. Peristiwa ini menambah daftar panjang kekacauan dalam sejarah sepak bola di negeri ini. Sportifitas sepak bola seolah dicederai, dan tentu saja hal ini tak lahir dari ruang hampa. Ada kelalaian yang melekat secara kolektif–baik penyelenggara, peserta, maupun aparat keamanan. Maka, sudah semestinya diperlukan langkah-langkah evaluatif yang menyeluruh ke depan.

Bagi saya, GOT sudah seharusnya menjadi instrumen sekaligus lokomotif bagi gerakan-gerakan sosial dan kemanusiaan. Kekuataan itu melekat dalam tubuh GOT. Disana, kita menyaksikan pertemuan gagasan dan dinamika sosio-kultural. Suporter dan penonton yang berkumpul bukan sekadar menonton, tapi memperkuat ikatan sosial secara eksplisit–baik lewat dukungan kolektif pada tim maupun keterhubungan emosional dengan individu yang diidolakan.

Komunitas-komunitas sosial yang terorganisir tanpa afiliasi resmi–yang rutin bergerak dan bersorak di stadion–sejatinya adalah basis kekuatan sosial yang kuat, tak bisa diremehkan. Dari ruang kolektif ini, akan tumbuh kesadaran bersama terhadap isu-isu ketidakadilan yang menyasar rakyat.

Misalnya di Argentina, ketika negara tempat kelahiran Lionel Messi itu dilanda krisis ekonomi dan inflasi parah, kelompok suporter Barra Bravas turun ke jalan menolak kebijakan efisiensi Presiden Javier Milei yang dianggap sekadar menguntungkan elite dan pemilik modal. Salah satu isu krusial yang mereka soroti adalah pemangkasan hak-hak para pensiunan lanjut usia.

Barra Bravas adalah titik temu berbagai kelompok suporter fanatik dari klub-klub di Argentina. Mereka bukan sekadar pendukung sepak bola–mereka memprotes, melawan, dan berdiri di garis depan melawan rezim yang menindas rakyat.

Ketika negara mengeluarkan kebijakan yang menyengsarakan, mereka percaya: inilah waktunya seluruh sumber daya sosial digerakkan. Stadion pun tak sekadar arena pertandingan, melainkan berubah menjadi ruang sosial–ruang membangun solidaritas, mempertahankan ingatan kolektif atas ketidakadilan, dan menjadi titik awal perlawanan yang meledak di jalanan.

Mereka berkumpul bukan semata untuk mendukung klub kesayangan, tetapi juga untuk memobilisasi massa. Pada dekade 1980 hingga 1990-an, Barra Bravas menjelma menjadi kelompok suporter yang militan, menunjukkan bagaimana sepak bola bisa menjadi alat perjuangan rakyat.

Contoh lain hadir dari sejarah sepak bola Indonesia. PSSI, yang kini berusia 95 tahun, lahir dari rahim perlawanan terhadap rasisme kolonial. Saat itu, kompetensi resmi hanya terbuka bagi orang-orang Belanda. Maka berdirilah PSSI sebagai bentuk konsolidasi kaum pribumi–mendirikan ruang tanding sendiri yang bukan hanya simbol perlawanan, tetapi juga cikal bakal identitas nasionalisme yang sedang tumbuh.

Seperti kata Prasetyo, sejak awal, sepak bola di Indonesia memang bukan sekadar permainan.

Saat rezim Orde baru memperkuat cengkeramannya dan membungkam kebebasan berpendapat, lanjut Prasetyo, stadion menjadi sedikit ruang yang tersisa bagi masyarakat untuk mengekspresikan diri mengkritik pemerintah. Komunitas suporter mulai terbentuk dan mengorganisir diri, misalnya Bobotoh dan Viking Persib Bandung (1993), lalu Jakmania dan Aremania di tahun-tahun berikutnya. Mereka bukan cuma menghidupkan atmosfer pertandingan, tetapi juga memelihara semangat kolektivitas, solidaritas, dan perlawanan dari orang-orang biasa.

Sejarah panjang sepak bola baik di Argentina maupun Indonesia, mestinya dilihat juga dari aspek perlawanan menentang kekuasaan, terutama ketika kebijakan tidak berpihak kepada rakyat. Begitu pula GOT, ia mestinya menjadi ruang gerakan rakyat, tempat memperkuat ikatan sosial sekaligus menggalang kesadaran. Kesadaran melawan penggusuran lahan masyarakat adat oleh oligarki tambang yang sedang terjadi di Halmahera Timur, pencemaran Sungai Sagea di Halmahera Tengah, hingga upaya pengusiran paksa warga Pulau Obi di Halmahera Selatan dari ruang hidupnya.

Pertanyaannya sederhana: bagaimana kita merawat ruang sosial yang lahir dari turnamen seperti GOT? Mungkinkah semangat Socrates dan militansi Barra Bravas harus dihadirkan kembali, membantu menyusun strategis melawan rezim yang kian menjelma ke arah otoritarianisme hari ini?