Warga Desa Bobo, Kecamatan Pulau Obi, Halmahera Selatan, menggelar aksi penolakan terhadap kehadiran PT Intim Mining Sentosa (IMS) pada Kamis, 24 April 2025. Aksi ini merupakan respons atas pertemuan tertutup antara PT IMS, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Inspektur Tambang Wilayah Maluku Utara, serta Kepala Desa Fluk dan Kepala Desa Bobo, yang berlangsung di salah satu hotel di Ternate tanpa melibatkan warga.
“Ini merupakan bentuk pengabdian kami terhadap prinsip partisipasi masyarakat yang menjadi fondasi hak atas ruang hidup. Pertemuan tertutup semacam ini mencerminkan praktik sistematis negara korporasi dalam menyembunyikan agenda mereka,” kata Amrafel Nandis Kurama, Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Bobo, dalam rilis persnya, Ahad, 27 April 2025.
Amrafel menilai, pola pertemuan semacam itu rawan menjebak warga dalam keputusan yang tidak mereka ketahui, setujui, atau kehendaki. Menurutnya, praktik ini lazim digunakan untuk melicinkan jalan operasi ekstraktif di berbagai wilayah, dengan mengabaikan suara dan hak-hak masyarakat lokal.
Dalam pertemuan tersebut, PT IMS, yang mengantongi konsesi seluas 3.185 hektare di Desa Bobo, disebutkan bakal beroperasi dengan memenuhi seluruh regulasi yang berlaku, termasuk kelengkapan dokumen perizinan seperti Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).
Amrafel mencontohkan kerusakan ekologis yang terjadi di Desa Kawasi, Pulau Obi, akibat aktivitas pertambangan. Ia menyebut, hutan, pesisir laut, kebun, dan sumber air telah tercemar, warga mengalami berbagai penyakit baru, tingkat kekerasan dan kriminalisasi meningkat, bahkan sebagian warga terpaksa meninggalkan kampung halaman.
“Kami menolak menjadi korban berikutnya dari ekspansi pertambangan nikel. Penolakan ini tanpa syarat dan tidak untuk dinegosiasikan,” tegasnya.
Senada dengan itu, Pendeta Esrom Lako Ruhut, Ketua Klasis Pulau-Pulau Obi, menolak pendekatan yang mereduksi persoalan pertambangan sebatas aspek administratif.
“Kehidupan, tanah, air, udara, dan masa depan generasi kami tidak bisa ditukar dengan selembar dokumen izin yang difasilitasi negara. Izin administratif hanyalah formalitas prosedural yang tidak menjamin perlindungan terhadap warga dan lingkungan,” kata Esrom.
Ia menegaskan, penolakan terhadap PT IMS berakar pada hak fundamental masyarakat untuk hidup layak di lingkungan yang sehat. “Kami menuntut hak untuk hidup di ruang hidup yang lestari, berkelanjutan, dan bebas dari ancaman kehancuran ekologis akibat tambang,” ujarnya.
Julfikar Sangaji, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Maluku Utara, turut mengkritik dampak buruk industri tambang. Menurutnya, di mana pun tambang beroperasi, selalu disertai perusakan lingkungan: mulai dari kerusakan hutan, pencemaran air, sungai, dan laut, hingga hilangnya kebun rakyat dan rusaknya ekosistem pesisir.
“Klaim pertambangan ramah lingkungan hanyalah politik bahasa untuk mengelabui rakyat. Faktanya, tambang membawa kebangkrutan sosial-ekologis dan menghancurkan pondasi kehidupan masyarakat lokal,” ujarnya.
Sebagai preseden, kata Julfikar, industri tambang di Pulau Obi yang telah lama beroperasi tidak pernah membawa kesejahteraan, malah memperparah kemiskinan. Ia menyebut penghidupan tradisional seperti berkebun, hasil tangkap ikan, dan pemanfaatan hasil hutan terus menurun, sementara keuntungan hanya dinikmati segelintir elite dan korporasi.
“Ketimpangan ekonomi akibat tambang justru memperdalam luka sosial dan ketidakadilan di tengah masyarakat,” tandasnya.

Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.