Dosen hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Khairun (Unkhair) Ternate, Aslan Hasan, menilai daya kritis perguruan tinggi di Maluku Utara saat ini sangat menurun. Terutama dalam mengadvokasi kasus-kasus kriminalisasi seperti yang dialami 11 masyarakat adat Maba Sangaji di Halmahera Timur.

Menurutnya, hal itu tidak terlepas dari status perguruan tinggi diubah menjadi badan layanan umum (BLU), sehingga dituntut mencari dan mendapatkan pendanaan sendiri.

Karena itu, para pimpinan perguruan tinggi hingga tingkat fakultas hanya sibuk membangun kerjasama, menandatangani memorandum of understanding (MoU) atau nota kesepahaman dan kesepakatan dengan perusahaan-perusahaan tambang. Kerja sama ini termasuk menyasar pengelolaan dana corporate social responsibility (CSAR), agar mendapat dana riset. Itu mengapa, menurutnya, tak ada lagi independensi dan nilai ilmiah riset.

“Dosen-dosen di bidang lingkungan yang ribut soal efek lingkungan dari kegiatan usaha pertambangan di Maluku Utara, hampir tidak ada,” katanya dalam sebuah diskusi publik yang digagas AJI Ternate di Kafe Sabeba, Kota Ternate, Ahad malam, 12 Oktober 2025.

Padahal, lanjutnya, kampus mestinya menjadi bagian dari sarana atau instrumen dalam memperjuangkan kepentingan publik, terutama soal hak-hak atas lingkungan yang bersih dan baik.

Ia mengaku prihatin melihat kondisi perguruan tinggi seperti itu. Karena dengan cara seperti itu, kata ia, secara tidak sadar, daya kritis kampus itu dibungkam agar tidak dapat bersuara dan membela masyarakat.

“Ketika masyarakat berjuang menuntut hak-hak dan mempertahankan ruang hidup yang bersih yang baik, dan melindungi hutan adat, korporasi justru bertindak sewenang-wenang, dan mengkriminalisasi,” katanya.

Aslan mengungkapkan, korporasi tidak membutuhkan berapa lama warga yang dikriminalisasi itu dihukum. Korporasi cukup membutuhkan justifikasi yuridis melalui putusan pengadilan yang menyatakan warga yang menolak perusahaan tambang sebagai pelaku kriminal, agar ruang gerak dalam memperjuangkan hak-hak mereka menjadi terbatas karena label “pelaku kriminal”. Demikian akan memecah belah kelompok masyarakat.

“Biasanya, korporasi melalui orang-orang yang diberi tanggung jawab melaksanakan tugas-tugas penegakan hukum, itu menggunakan model memecah belah kelompok masyarakat yang memperjuangan haknya,” ungkap Aslan.

Dalam kasus 11 warga adat Maba Sangaji pun, bagi ia, ditemukan praktik pecah belah seperti itu. Perusahaan, melalui kaki tangan mereka: pemerintah desa kontra dengan warga adat yang sedang berjuang menolak tambang—dikriminalisasi dengan pasal berlapis.

Pada akhirnya, jaksa penuntut umum (JPU) justru menuntut 11 warga Maba Sangaji dengan pidana 4, 6, sampai 7 bulan penjara karena terbukti secara sah dan bersalah atas tindakan menghalang-halangi aktivitas perusahaan PT Position yang berhenti sementara, sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 162 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020, tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

“Sebenarnya, pola kriminalisasi 11 warga Maba Sangaji dengan menggunakan UU Minerba, selain digunakan sebagai sarana pembungkaman, juga efektif ketika orang-orang (11 warga Maba Sangaji) ini dinyatakan terbukti dan diberi label sebagai pelaku kriminal. Maka selanjutnya, perjuangan atas haknya itu akan menjadi terbatasi karena label pelaku tindak pidananya itu,” ungkapnya.

Ia menambahkan, sepanjang tuntutan warga yang dikriminalisasi berhubungan dengan status hak atas tanah, maka itu menandakan bahwa urusan perusahaan terkait lahan belum selesai. Padahal, lanjutnya, Pasal 136 UU Minerba menunjukan perusahaan berkewajiban menyelesaikan status hak atas tanah sebelum melakukan aktivitas pertambangan.

“Kriminalisasi itu hanya bisa tumbuh dan terbentuk dari sistem hukum yang buruk. Sistem hukum yang buruk itu, baik perundang-undangannya yang buruk maupun penegak hukumnya yang buruk,” pungkasnya.