Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Maluku Utara menilai putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Soasio, Tidore Kepulauan, terhadap sebelas warga adat Maba Sangaji menunjukkan bahwa hukum di Indonesia bekerja untuk melindungi kepentingan modal dan oligarki tambang. Hakim disebut menggunakan Pasal bermasalah 162 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba.
“UU Minerba yang dipakai hakim untuk memvonis bersalah 11 warga adat Maba Sangaji sejak awal sudah bermasalah dan inkonstitusional. Karena bertentangan dengan Undang-undang (UU) No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” kata Astuti N. Kilwouw manager program Walhi Maluku Utara kepada Kadera, Jumat, 17 Oktober 2025.
Menurut Astuti, proses kriminalisasi terhadap sebelas warga adat Maba Sangaji bukan sekadar persoalan penerapan hukum, tetapi juga menunjukkan keberpihakan aparat kepada korporasi. Dari penyidik, penuntutan, hingga vonis, katanya, aparat penegak hukum tampak berupaya menjaga stabilitas kepentingan modal dengan mengorbankan hak-hak masyarakat adat.
“Jadi sikap putusan penegak hukum hari ini telah menegaskan posisi hukum kita sebagai hukum yang tunduk pada kekuasaan dan modal. Sementara mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Dan hak masyarakat untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat dan bersih,” jelas Astuti.
Menurut Astuti, masyarakat adat Maba Sangaji yang menolak aktivitas tambang nikel PT Position bertindak berdasarkan hak konstitusional mereka dalm mempertahankan wilayah adat dan lingkungan hidup yang sehat. Namun, sikap hukum hari ini, tambah Astuti, menunjukkan bahwa hukum tunduk pada kekuasaan dan modal, sambi mengabaikan hak masyarakat adat.
Lebih lanjut, menurut Astuti, kriminalisasi terhadap masyarakat adat Maba Sangaji bukan peristiwa tunggal. Pola serupa, katanya, berulang terjadi di berbagai daerah di Maluku Utara.
Dalam catatan Walhi Malut, terjadi kriminalisasi terhadap warga Gebe pada 2010, warga Weda pada 2011, di Gane Dalam pada 2013, Galela pada 2014, dan kini juga dihadapi oleh masyarakat di Pulau Obi karena menolak aktivitas industri nikel Harita Group.
Astuti mengatakan ini pola yang terjadi secara sistematis. Warga yang menjaga hutan, air, dan tahan dari kerusakan tambang justru dikriminalisasi, sementara perusak lingkungan diberi perlindungan hukum. “Kita berharap rakyat tetap punya kedaulatan atas diri mereka sendiri dalam mempertahankan ruang hidup mereka,” terangnya.
Astuti lalu mengutip sebuah adagium hukum dari asas In Dubio Pro Reo: Lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah. Di Indonesia, asas ini sering digunakan Mahkamah Agung dalam memutus sebuah perkara, tetapi di Pengadilan Negeri Tidore, asas ini tidak berlaku.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.