Suasana Desa Kawasi, Kecamatan Obi, Halmahera Selatan, mendadak panas, pada Jumat, 7 November 2025, setelah adanya papan larangan di sejumlah titik permukiman. Di papan itu tertulis “Dilarang memasuki, melakukan aktivitas, dan memanfaatkan tanah ini”, disertai ancaman pidana dengan rujukan pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP.

Dalam papan tersebut turut dicantumkan ancaman: Pasal 167 ayat (1) ancaman penjara 9 bulan; Pasal 389 ancaman 2 tahun 8 bulan penjara; Pasal 385 ancaman 4 tahun penjara; dan Pasal 551 ancaman denda.

Salah satu papan diketahui terpasang di kawasan setapak 1 kompleks Nasrani, tak jauh dari rumah-rumah warga. Papan-papan larangan itu diduga dipasang tanpa sepengetahuan warga.

Sejumlah ibu-ibu Kawasi marah. Sekitar pukul 13.15 Wit, mereka mencabut salah satu papan larangan, lalu membawanya ke pos merah,–pos keamanan milik Harita Nickel–dikenal luas sebagai Harita Group.

Mereka menuntut penjelasan dari perusahaan atau aparat pemerintah yang tergabung dalam gugus tugas relokasi. Pasalnya, warga Kawasi tengah menghadapi situasi dimana mereka direncanakan akan direlokasi ke kawasan ecovillage atau perumahan baru.

Namun lebih dari satu jam warga menunggu, tak satu pun perwakilan perusahaan atau pemerintah datang menemui mereka.

“Kami merasa ini tindakan intimidasi, tanpa sosialisasi atau apapun tiba-tiba ada papan seperti ini di kampung. Seolah-olah tanah ini bukan milik kami,” jelas Nurhayati kepada Kadera, Jumat tadi.

Menurut Nurhayati, papan-papan itu dipasang diam-diam pada malam hari atau pada saat sebagian besar warga sedang beribadah Jumat atau ibadah Mingguan.

Pemasangan papan larangan muncul di tengah meningkatnya ketegangan soal rencana relokasi desa. Informasi yang beredar di kampung, kata Nurhayati, menyebutkan pemerintah dan perusahaan menargetkan seluruh warga Kawasi pindah ke permukiman baru pada Desember 2025.

“Ini kan relokasi kepentingan perusahaan mau mengosongkan kampung untuk perluasan perusahaan, dan torang warga kampung ini jadi korban, dikorbankan,” jelas Nurhayati.

Akibat tekanan relokasi tersebut, puluhan warga–terutama yang pro atau pendatanga–telah menyerahkan rumah dan lahan mereka melalui mekanisme tukar guling. Namun sebagian warga mengaku terpaksa karena merasa dihadapkan pada ancaman dan informasi yang tidak transparan.

“Jelas-jelas ini perusahaan ancam warga. Torang tidak ada yang mau dan tidak pernah mau pindah,” kata warga lainnya.

Warga yang tetap bertahan menyebut pemasangan papan larangan sebagai intimidasi berbasis hukum untuk melemahkan upaya warga mempertahankan kampung.