Wakil Rektor III Universitas Bumi Hijrah Dr. Isra Muksin menilai ekspansi industri pertambangan di Maluku Utara berkontribusi pada melemahnya minat generasi muda untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Banyak anak muda memilih bekerja di perusahaan tambang ketimbang menempuh pendidikan sarjana.
“Lima tahun terakhir, mahasiswa yang masuk Unibrah lebih banyak karena dipaksa orang tua. Itu pun didominasi perempuan atau mahasiswa. Mahasiswa hampir tidak ada minat kuliah,” kata Isra dalam forum Temu Rakyat yang diadakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) di Aula Desa Balbar, Oba Utara, Tidore Kepulauan, Selasa, 25 November 2025.
Ia mencontohkan, dari 167 mahasiswa, hanya sekitar 2 persen laki-laki. “Pertanyaannya laki-laki ke mana? Mereka dipaksa atau kemauan sendiri dengan membawa map ke PT IWIP atau ke PT Harita Nickel,” ujarnya.
Menurut Isra, fenomena ini merupakan “gunung es” yang memperlihatkan bahwa industri tambang membentuk generasi praktis dan instan: bekerja cepat untuk uang, tanpa pendidikan intelektual dan moral yang memadai. Ia menilai lemahnya kualitas sumber daya manusia membuat masyarakat semakin rentan.
“Karena sumberdaya manusia kita lemah itu kita dijajah secara struktural. Ini menjadi kekhawatiran. Kita memang agak sedikit diatur oleh oligarki ketimbang provinsi-provinsi yang lain,” kata Isra.
Ia juga menilai daya kritis kampus di Maluku Utara kian melemah. Kritik terhadap tambang meredup, padahal dampaknya langsung mengancam ruang hidup masyarakat. Karena itu, ia mendorong mimbar bebas lintas kampus untuk mengawal kasus kriminalisasi warga adat yang menolak tambang.
Isra menyinggung narasi pertumbuhan ekonomi Maluku Utara yang menembus 39 persen dan sering dijadikan bukti keberhasilan industri nikel. Menurutnya, angka tersebut justru tidak dinikmati warga lingkar tambang.
“Kita hidup bukan mengharapkan tambang,” jelas Isra.

Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.