Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mendesak 12 perbankan nasional dan internasional agar menghentikan pembiayaan terhadap operasi pertambanngan dan kawasan industri Harita Group. Pasalnya, operasi Harita Group, terutama di Desa Kawasi, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, telah meninggalkan jejak daya rusak yang signifikan.
“Kami bersama seluruh warga yang terdampak oleh bisnis Harita Group menuntut seluruh lembaga pembiayaan untuk segera mematuhi peraturan yang berlaku di Indonesia mengenai pembiayaan hijau, dengan menghentikan dan menarik seluruh pembiayaan yang diberikan kepada Harita Group,” dikutip dalam surat ultimatum rakyat korban Harita Group, beberapa waktu lalu, yang ditandangani ratusan perwakilan warga.
Julfikar Sangaji, Dinamisator Jatam Maluku Utara mengatakan, dalam menjalankan bisnisnya, Harita Group identik dengan berbagai pelanggaran dan pembangkangan hukum, deforestasi, degradasi hutan dan lahan yang mengancam biodiversitas, hingga serangkaian kejahatan terhadap hak-hak asasi manusia, seperti perampasan ruang hidup dan pengusiran warga dari ruang hidupnya, kriminalisasi, persekusi, dan intimidasi.
“Di Maluku Utara, pertambangan nikel dan hilirisasinya yang dikelola Harita Group telah melakukan berbagai bencana ekologis dan kemanusiaan. Pencaplokan dan alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan tambang telah menghilangkan sumber-sumber pangan warga, sekaligus menghilangkan ruang penghidupan petani di Pulau Obi,” jelas Julfikar.
Sementara itu, tambah Julfikar, tindakan perusahaan yang mengokupasi wilayah pesisir telah mengusir nelayan dari ruang penghidupannya serta menghilangkan ruang pangan warga di Desa Kawasi. “Warga Kawasi kini harus mengandalkan pasokan ikan dari daerah lain semenjak pesisirnya tercemar,” jelas Julfikar.
Dalam catatan Jatam, Harita Group juga melakukan penggusuran hutan besar-besaran yang diikuti pengupasan tanah demi mengeruk perut bumi telah mengakibatkan erosi tanah besar-besaran, yang menyebabkan serpihan tanah melimpas masuk ke sungai dan terbawa jauh hingga ke pesisir dan lautan.
Limpasan tanah, kata Julfikar, tak hanya menyebabkan sedimentasi sungai dan pesisir laut, lebih dari itu, sedimentasi tersebut menyebabkan kerusakan ekosistem pesisir dan laut yang indikator utamanya adalah kematian terumbu karan dan kehancuran padang lamun.
Sedimentasi itu juga disebut, membawa berbagai logam berat yang dikonsumsi oleh hewan renik seperti plankton yang menjadi makanan ikan. Ini diperburuk oleh perilaku perusahaan yang membuang limbah produksinya ke badan-badan air di darat maupun laut.
“Karena itu, ikan dan pangan laut lainnya yang berasal dari sekitar Obi menjadi terkontaminasi oleh logam berat,” jelas Julfikar.
Sehingga, Jatam menyebut, pembiayaan terhadap Harita Group, sangat bertentangan dengan peraturan otoritas jasa keuangan No.51/POJK.03/2017 tahun 2017 tentang penerapan keuangan berkelanjutan bagi lembaga jasa keuangan, emiten, dan perusahaan publik.
Dalam peraturan OJK tersebut, terdapat 8 (delapan) prinsip praktik keuangan berkelanjutan yang dijabarkan dalam Pasal 2. Investasi yang bertanggung jawab disebutkan pertama kali, dilanjutkan dengan strategi dan praktik bisnis berkelanjutan, lalu pengelolaan risiko sosial dan lingkungan hidup.
Adapun yang dimaksud dengan pembangunan berkelanjutan dijabarkan sebagai, “Merupakan upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek ekonomi, sosial, dan Lingkungan Hidup ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan Lingkungan Hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.”
“Sejalan dengan peraturan pemerintah Indonesia mengenai pembiayaan hijau yang dituangkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 51/POJK.03/2017 Tahun 2017, sudah selayaknya Harita Group dimasukkan ke dalam daftar negatif investasi atau pembiayaan,” ujar Jatam, dalam surat untuk kampanye Hentikan Harita.

Dua belas bank itu di antaranya:
- Bank Centeral Asia,
- Bank Mandiri
- Bank Negara Indonesia
- BNP Paribas
- China Eximbank
- CIMB Niaga
- DBS
- Indonesia Eximbank
- KEB Hana
- Mybank
- OCBC
- OUB
Dana dari 12 bank itu, catat Jatam, mengalir ke Harita Group untuk terus mengembankan bisnisnya, yang ironisnya, mengancam keselamatan dan keberlanjutan lingkungan hidup di tempat ia mengeruk hasil bumi besar-besaran.
Ke-12 bank tersebut dikatakan berjasa membuat Harita Group menjadi raksasa dengan keuntungan triliun, tetapi membuat warga di Wawonii yang dulu sejahtera dari mete dan cengkeh, dan warga Obi yang dulu sejahtera menjadi nelayan, kini hidup dalam bayang-bayang kehancuran lingkungan, bencana akibat kerusakan ekologi, kesakitan, dan kemelaratan.
Sekadar diketahui, Harita Group adalah bisnis konglomerasi milik keluarga Lim Hariyanto Wijaya Sarwono. Di Pulau Obi, Harita Group mengoperasikan pertambangan nikel dan pabrik pengolahan dan pemurnian bijih nikel untuk bahan baku baterai kendaraan listrik.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.