Sofifi, ibu kota administratif Provinsi Maluku Utara, kembali memanas. Rabu siang, 23 Juli 2025, tensi politik dan identitas memuncak menjadi bentrok fisik ketika dua kelompok warga berhadapan dalam konflik terkait penolakan Daerah Otonomi Baru (DOB) Sofifi.

Aksi damai yang digelar oleh Presidium Rakyat Tidore, masyarakat adat Kadato Kesultanan Tidore, dan kelompok Oba Bersatu berubah menjadi ricuh saat warga dari tiga kampung, Sofifi, Baramadoe, dan Balisosa, datang membawa parang, kayu, dan batu.

Massa yang sebelumnya membawa spanduk bertuliskan “DOB Sofifi Bukan Solusi: Jangan Membuat Gaduh di Negeri Kami”, tak menyangka kedatangan kelompok tandingan yang siap konfrontasi. Sekitar pukul 13.15 WIT, lemparan batu saling bersahutan, mengubah halaman kantor Gubernur menjadi medan konflik terbuka.

Polisi Kewalahan, Brimob Turun Tangan

Awalnya, aparat dari Polresta Tidore berupaya membendung bentrokan. Namun situasi tak terkendali. Ketegangan memuncak, dan satu peleton tambahan dari Brimob Polda Maluku Utara diterjunkan ke Sofifi untuk meredam konflik. Sayangnya, ketegangan tak kunjung mereda.

Di tengah panasnya siang, sebuah truk polisi yang membawa makanan dan air mineral untuk aparat dan massa aksi, dihentikan paksa. Warga Sofifi meneriakkan “tahan mobil”, lalu naik ke bak truk dan menghamburkan seluruh isi makanan ke jalanan.

Insiden ini menandai bahwa konflik bukan lagi sekadar perbedaan pendapat, tetapi telah bergeser menjadi pertarungan harga diri dan simbol.

Kapolresta Tidore, AKBP Heru Budiharto, mencoba menenangkan massa dan memediasi. Ia memohon agar warga dari tiga kampung memberi ruang untuk memulangkan massa aksi Tidore ke pulau asal mereka.

“Saya bermohon, dan kita kembali menjaga kondusifitas. Nanti diupayakan dengan cara yang baik. Pulang dulu. Kita antar teman-teman massa aksi pulang dulu,” ujar Heru di hadapan massa.

Namun negosiasi tak berjalan mulus. Massa dari Sofifi menolak memberi jalan pulang. Seorang warga bahkan menyebut bahwa situasi telah dimanfaatkan oleh elit lokal.

“Ini seharusnya Sultan dan Wali Kota yang tanggung jawab. Mereka arahkan massa ke sini, bukan untuk menyampaikan aspirasi, tapi malah bikin konflik,” ujar seorang warga penuh emosi.

Serangan Lanjutan dan Korban Jatuh

Menjelang pukul 16.00 WIT, massa dari Sofifi, Baramadoe, dan Balisosa kembali menyerang. Batu beterbangan, membuat aparat dari Satpol PP, Brimob, dan Polresta kewalahan. Seorang massa aksi dari Tidore menjadi korban, terkena lemparan batu di bagian kepala.

Evakuasi Lewat Jalur Air

Menjelang malam, situasi mulai terkendali. Aparat keamanan memutuskan untuk mengevakuasi massa Tidore lewat jalur laut. Dari Desa Kaiyasa, ratusan massa aksi diangkut menggunakan satu speedboat dan tiga motor kayu untuk kembali ke Pulau Tidore, dalam suasana yang masih mencekam.

Bentrok ini bukan sekadar pertikaian dua kelompok warga. Ia merefleksikan trauma sejarah, persoalan identitas, dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Sofifi sebagai ibu kota, lagi-lagi mempertontonkan betapa rapuhnya fondasi sosial dan politik yang dibangun di atas bentang kepulauan Maluku Utara.